Monday, March 3, 2008

Polemik Seputar SMI di Kompas [4 artikel]

1. TARIAN KEHIDUPAN GANDRUNG TEMU
Oleh: Maria Hartiningsih


Tarian Gandrung Temu adalah tarian kehidupan. Setiap geraknya adalah riwayat. Panggungnya keseharian, di mana musim panen dan paceklik adalah dua musim yang satu dan garisnya abu-abu.

Temu Mesti adalah penari Gandrung terkemuka di Banyuwangi, Jawa Timur. Meski usianya 53 tahun, posisinya dalam kesenian tradisional Banyuwangi itu belum tergeser oleh para penari muda. Tinggi badannya sekitar 170 cm, berperawakan sedang. Suaranya yang melengking jernih masih belum tertandingi.

Namun, seperti banyak seniman tradisional, hidupnya jauh dari gemerlap. Rumahnya di Dusun Kedaleman, Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, berukuran 7 x 12 meter persegi, dengan perabotan apa adanya. Itulah hasil keringatnya selama lebih dari 35 tahun menari Gandrung.

Pada masa jayanya, ia hanya sempat tidur di rumah tiga-empat hari dalam sebulan. Sekarang, pesanan pentas sekali seminggu saja sudah sangat bagus. "Banyak tontonan yang bisa dipilih orang hajatan dengan honor bersaing, seperti dangdut," kata Temu.

Setiap pentas ia dan kelompoknya menerima Rp 1,5 juta. Setelah dibagi-bagi, ia mendapat honor bersih Rp 250.000. "Dulu penarinya cuma satu. Jadi honornya untuk sendiri," katanya. Mulai tahun 1995-an ada tiga-empat gandrung yang menari.

Temu ditemui suatu petang setelah kampanye pemilihan kepala desa. Suaranya yang mengalun lewat pengeras suara dari truk yang berjalan mengelilingi desa masih terngiang. Temu duduk di bawah dengan pakaian sehari-hari, tersembunyi di antara sosok lima penari Gandrung muda yang berdiri di badan truk mengumbar senyum. Kerja dua jam pesanan dari salah satu calon kepala desa itu honornya Rp 60.000. "Lumayan," ucapnya.

Kata "lumayan" itu bukan basa-basi. Setiap rupiah adalah nafas, terutama menjelang bulan-bulan sepi pesanan, dan ia harus membuat rempeyek teri, kedelai, dan kacang tanah untuk menyambung hidup. "Bulan puasa, Maulud dan Suro, enggak ada orang hajatan di sini," lanjut Temu.

Pelanggaran

Bagi Temu, hidup adalah berkesenian. Gandrung membuatnya menggandrungi hidup, seberat apa pun jalannya. Kibasan sampur Gandrung seperti mengibaskan ketaktertanggungan masalah. Karena itu, meski menyandarkan hidup pada Gandrung, uang bukan segalanya. Seperti paradoks. Ia mempertaruhkan hidupnya di situ, sekaligus tak kenal kompetisi: Gandrung lebih penting ketimbang dirinya.

Sikap itu tanpa disadari menjadikannya "mangsa" bisnis kesenian dan kebudayaan yang jaring-jaringnya melampaui batas desa, bahkan wilayah negara. Temu, yang tidak pernah menyelesaikan pendidikan Sekolah Rakyat itu, tidak tahu bahwa ia tergulung ke dalam gelombang pasar bebas, di mana multikulturalisme dimaknai tak lebih sebagai komoditi, minus penghargaan pada hak kekayaan intelektual. Suatu pelanggaran yang banal.

Suara Temu menjadi bagian eksotisme "Timur" yang terus direproduksi dan secara bisnis memberikan keuntungan besar.

Farida Indriastuti, kontributor lepas kantor berita Italia yang melakukan penelitian tentang multikulturalisme—diselenggarakan oleh Srinthil, majalah perempuan multikultural—menemukan, CD Temu "Songs Before Dawn" (Lagu Menjelang Fajar) dijual di AS antara 15 dollar-18 dollar AS, di Eropa sekitar 20 euro per keping.

Nilai jualnya di satu online lebih dari 12.000 keping. Padahal lebih dari 10 online menjual reproduksi suaranya. Pertengahan Juli 1992, Amazon.com AS mencatat penjualan "Songs Before Dawn" sebanyak 284.999 copy dalam 24 jam. Foto Temu menari ditaruh di sampul belakang CD, sementara sampul depannya berhias penari Gandrung lain dari Banyuwangi. Hak ciptanya dipegang suatu lembaga pendidikan terkemuka di AS. Nama Temu tak disebut sama sekali di situ.

Temu hanya tahu pernah ada orang asing yang merekam gambar dan suaranya, katanya, untuk proyek kebudayaan Indonesia. Lama rekamannya 10 jam, dengan upah Rp 60.000 atau Rp 6.000 per jam, dan Rp 25.000 per orang atau Rp 2.500 per jam untuk enam panjak (nayaga). Katanya, rekaman itu bukan untuk keperluan komersial.

Di tingkat lokal pun sama saja. Suara emasnya sudah menghasilkan enam album Gandrung dan satu album versi Jaipong untuk karaoke. Honornya dihitung per paket, antara Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta, tak tergantung berapa keping CD atau kaset yang terjual. Menurut penyelidikan Farida, VCD Temu pernah terjual 10.000 keping sehari.

Pada 1999 Temu dihubungi pejabat setempat untuk pentas ke Jakarta, tetapi lalu diganti orang lain, tanpa pemberitahuan. Karena itu, ia menolak ketika ditawari berangkat ke Kalimantan Timur beberapa waktu lalu.

Suatu hari, seorang pejabat memberi tahu, Temu mendapat penghargaan internasional. Ternyata penghargaan itu dari Dinas Pariwisata bekerja sama dengan Pendidikan Seni Nusantara (PNN). Gambar dari sertifikat "internasional" itu dibingkai kayu murahan berupa fotokopi sampul rekaman VCD dari proyek kesenian rakyat lembaga filantrofi internasional yang merekam suara dan tarian Temu bertahun-tahun lalu itu.

"Lha saya bisa apa?" itu jawabnya ketika ditanya bagaimana ia menyikapi semua itu. "Saya kembalikan saja pada Yang Punya Hidup."

Sejak tahun 1980 Temu hidup sendiri. "Malas nggodok wedang. Capek," katanya.

Dua perkawinannya gagal, tanpa anak. Sekarang ia mengasuh cucu keponakan dan merawat kakak ibunya "Enak sih punya suami. Tapi daripada sakit gigi, he-he-he…."

Jalan Hidup

Sejarah hidup Temu sebagai penari Gandrung kental diwarnai tradisi. Waktu kecil, ceritanya, ia sakit-sakitan, tak mau makan. Orangtua membawanya kepada seorang dukun bernama Mbah Kar untuk di-suwuk.

Sepulang dari situ, Temu kecil tiba-tiba minta makan. Ibunya membawa dia ke rumah juragan Gandrung bernama Mbah Ti’ah. Di situ Temu makan sangat lahap. Lalu Mbah Ti’ah mengatakan, "Jadikan dia gandrung kalau sudah besar."

Sejak itu, Temu kecil mulai suka menari. Darah seni sebenarnya mengalir dari garis ayahnya. Sang ayah adalah penari ludruk. Kakeknya ahli mocoan lontar. Meski awalnya tak mau jadi penari Gandrung, Temu mulai naik pentas pada usia 15 tahun. Tahun 1969 itu penari Gandrung perempuan berada di puncak kejayaan. Gandrung Banyuwangi didominasi penari laki-laki sampai tahun 1950-an.

"Mula-mula takut," kenangnya.

Tak lebih dari setahun, Temu menapak jenjang sri panggung. Honornya jauh di atas penari-penari seniornya. Lirik lagu ciptaannya mengena dan sering menohok persoalan yang dihadapi penonton.

Temu mengaku tak pernah baca mantra sebelum pentas. "Kalau pakai itu, cuma bertahan sebentar," katanya. Untuk menjaga kualitas suara, ia tak makan pedas dan gorengan, dan mempertahankan syarat utama: menahan kencing semalaman atau sekitar sembilan jam!

Seandainya dilahirkan kembali, apakah ia mau meniti jalan yang sama, sebagai penari Gandrung? Jawab Temu, "Saya mau tidur pada waktunya orang tidur. Bukan teriak-teriak nyanyi dan pencilatan menari…."


Sumber: Kompas cyber--Potret--Jumat 26 Oktober 2007

http://community.kompas.com/index.php?fuseaction=home.detail&id=48323&section=94

********************************************************


2. Dari Kemiren ke Hollywood

Oleh FARIDA INDRIASTUTI


Penelitian singkat ini mengenai seniman gandrung yang tidak menerima
royalti rekaman-rekamannya, yang di luar negeri terjual puluhan miliar
rupiah.

Malam itu hujan mengguyur. Udara dingin menusuk tulang. Di ujung Desa
Kemiren, Banyuwangi, tersua panggung gandrung terop lengkap dengan
panjak dan niyaga pengiring pengantin. Tata panggungnya sederhana.
Pencahayaan seadanya. Dari belakang muncul gandrung Temu melenggok,
mengibaskan sampur, dan menggoyang pinggulnya yang sintal diiringi dua
gandrung muda.

Gandrung Temu begitu bertenaga. Tak tersirat usianya yang telah
separuh abad lebih. Di wajahnya tebersit gurat bahagia. Pipi merona
merah, kulit langsat bersinar, dan mata berbinar. "Itu berkat
srensen," kata perias Temu. Konon srensen dipakai agar si gandrung
tampak cantik memikat.

Menguasai tembang-tembang klasik, Temu juga piawai menyapa penonton
dan melayani pemaju gandrung tanpa pilih-pilih. Sesekali tangannya
bergerak cepat, menangkis keisengan pemaju. "Kalau ada yang mau
mencium, omprok (mahkota) ini senjata saya," kata Temu.
Tak ayal,
dalam saban pentas gandrung Temu selalu jadi primadona.

Keunikan suara Temu menyeruak hingga menggugah rasa ingin tahu banyak
peneliti atau etnomusikolog, dari dalam dan luar negeri.
Bagi para
peneliti, Temu juga merupakan sebuah korpus ilmu pengetahuan etnik
yang unik. Kepopuleran Temu sampai mendorong para peneliti menjalin
kerja sama dengan organisasi nirlaba dan lembaga donor internasional.
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI), Ford Foundation (FF),
serta Center for Folklife Programs and Culture Studies Smithsonian
Institution mensponsori proyek Seri Musik Indonesia, menghasilkan
album bertajuk Nyanyian Menjelang Fajar: Gandrung Banyuwangi.

Pada Juni 1953, Ford Foundation membuka kantor pertamanya di Jakarta,
hanya satu kamar di Hotel des Indes. Selama 50 tahun Ford Foundation
dan mitra kerjanya di Indonesia memberikan dukungan hibah berupa
proyek seni budaya, seperti penelitian dan dokumentasi budaya,
pelestarian benda dan penguatan kedudukan akademis dari ilmu seni
budaya, khususnya etnomusikologi.

[....]

Fokus baru, Ford Foundation bersama MSPI adalah memprakarsai sebuah
proyek penelitian mengenai dampak dari Undang-undang Hak atas Kekayaan
Intelektual (HAKI) terhadap kesenian tradisional; dan juga proyek
revitalisasi untuk menjamin pewarisan kesenian tradisional dari
seniman-seniman generasi lama ke generasi baru (Philip Yampolsky,
Program Officer Art and Culture, Jakarta, Desember 2005).

Kajian dan analisis tentang gandrung menembus batas negara. Peneliti
asing seperti Joh Scholte, Paul A Wolbers, Bernard Arps, dan Philip
Yampolsky singgah lama di Banyuwangi. Temu mengenang, "Saya kenal Pak
Philip tahun 1980. Terus dia tanya, gerakan apa itu? Saya jawab ini
tarian terbang...!" Dari perjumpaan yang liat itu, Philip Yampolsky,
musikolog dan pejabat program Art and Culture, Ford Foundation,
merekam Temu pada 15 Oktober 1990 di Kemiren.

Angka fantastis

Sebelum kenal Philip Yampolsky, pada 1975 Temu telah masuk industri
rekaman di Banyuwangi. Album kompilasi Temu, Disco Etnik Banyuwangi,
yang direkam Sandi Record mampu menembus angka penjualan fantastis:
50.000 VCD dan 10.000 kaset dengan distribusi meliputi Jawa, Madura,
dan Bali. Ironisnya, aktor penting di balik label Sandi Record
mengeluh merugi walaupun mereka mengantongi untung Rp 350 juta. Toh,
karena masih bisa bernegosiasi, Temu menganggap honor Rp 1 juta per
lagu cukup baik. Temu sadar terseret arus modal yang sangat besar dari
industri rekaman. Kini ia berurusan pula dengan organisasi nirlaba
serta lembaga donor internasional.

Sekeping CD Song Before Dawn yang dinyanyikan Temu dan tergeletak di
meja ruang tamu Temu telah membuka arah jalan penelitian saya (yang
berlangsung di Desa Kemiren, Desa Olehsari, dan Kota Banyuwangi 2
Agustus-2 September 2007, dilanjutkan di Kota Jember 3-13 September
2007). Begitu saya telusuri, ternyata CD itu (edisi Indonesianya
bernama Gandrung Banyuwangi) dijual di Toko Buku Kalam, Jakarta. Pikir
saya, bila CD-nya bisa dibeli bebas di Jakarta, tentu jalur
distribusinya meluas ke aras internasional. Dugaan saya tepat! CD Song
Before Dawn didistribusikan ke berbagai negara, dari kawasan Asia
Pasifik, Uni Eropa, Eropa Timur, Amerika Serikat dan Amerika Latin
dalam format CD, kaset, dan unduhan (download) via internet. Saya tak
mengira bila penelitian tentang gandrung Temu akan melompat dari aras
lokal menuju global.

Bila benar CD Song Before Dawn tak dikomersialkan, mengapa ia
diperjualbelikan sedemikian luas? Jalur distribusinya mudah dilacak di
internet. Di amazon.com (AS), misalnya, harga per keping CD Temu 16,98
dollar AS, MP3 unduhan 8,99 dollar AS, dan unduhan 0,99 dollar AS per
lagu. Di amazon.com (Perancis), harga per keping CD 20 euro dan MP3
unduhan 8,99 euro.

Pada medio Juli 1992, amazon.com (AS) mencatat angka penjualan album
CD Song Before Dawn sebanyak 284.999 keping (dalam tempo 24 jam). Bila
dihitung dengan kurs Rp 10.000 per dollar AS (Rp 189.900/CD), hasilnya
Rp 550.418.102.000. Angka yang fantastis!

Pada 8 Februari 1991 amazon.com (Perancis) mencatat angka penjualan CD
Song Before Dawn 261.752 keping. Bila dihitung dengan kurs Rp 14.000
per euro (Rp 280.000/CD), hasilnya Rp 73.290.560.000. Angka Rp
73.290.560.000 ini hanya dari penjualan CD Song Before Dawn, belum
termasuk penjualan kaset atau MP3 unduhan.

Dalam kurun tahun 1992–1997, kurs rupiah atas dollar AS ada di kisaran
Rp 2.500– Rp 5000 (sebelum terjadi krisis moneter pada Juli 1997),
begitu juga kurs rupiah atas euro. Toh, bila dihitung dengan kurs Rp
2.500 (Rp 42.450/CD), tetap saja pendapatan dari penjualan CD Song
Before Dawn masih sangat besar, Rp 12.310.457.550. Saya tidak bisa
memastikan berapa angka penjualan album Song Before Dawn tahun-tahun
terakhir (2000-2007) saat kurs rupiah atas dollar AS mencapai Rp
10.000. Hingga tahun 2000-an, penjualan album Song Before Dawn masih
bisa dilihat di situs Smithsonian Global Recordings (AS) seharga 15.00
dollar AS/CD dan amazon.com (Perancis) seharga 20 euro/CD.

Dari berbagai situs toko musik online di pelbagai negara— kecuali Uni
Afrika dan Timur Tengah—yang dapat saya catat, tampak bahwa CD Temu
tak hanya dijual di amazon.com (AS) dan amazon.com (Perancis).
Penjualan juga dilakukan oleh CdeMusic (Distribution Program of
Electronic Music Foundation) yang memiliki jaringan internasional,
seperti CdeMusic Store Jepang (17.00 dollar AS/CD), CdeMusic Store
Australia, CdeMusic Store Perancis, dan CdeMusic Store California.

Selain di amazon.com Jepang (2.500 yen/CD), amazon.com Inggris,
amazon.com Kanada, MSN Encarta Elderscroll-Spanyol, MSN Music,
Fonoteca Municipal, Musicme, Music Greenwater-Rusia, JSTOR (12 dollar
AS/CD), Barnes & Noble.com (16,99 dollar AS/CD), Best Price,
Halfvalue.com (16,98 dollar AS/CD), YouTube Broadcast Amerika, YouTube
Broadcast Polandia, The Hamilton-Wenham Public Library, Fatchancla,
Wmfv.org-New Jersey City, Zoo Keeper Online dan Smithsonian Global
Recordings (15 dollar AS/CD dan 10 dollar AS/kaset, Love Online (15
dollar AS/CD), Muzprosvet—Rusia, Aiaa.org.au (Rp 45.000/CD belum
termasuk ongkos kirim), Music.wenchoice.com (16,98 dollar AS/CD), New
Reader, Skuntry.com, Amusicarea.com, Hmvo.co.jp (1.568 yen/CD),
Worldmusic Store (15,99 dollar AS/CD), Media-maniac.com, Culta.com,
CDe Music.org (17 dollar AS/CD), Dgdiffusion.com, Folkways,
Homeswipnet, Emusic.com, Download Store, Fonoteca.cm.lisboa,
Technobeat.com, Caroline.hartfordpl, Swan.mls.lib, dan Answer.com (15
dollar AS/CD). Bahkan, amazon.com (Perancis) mengategorikan album Song
Before Dawn sebagai "Various Artists" (bertanda bintang lima).

Siapa tak takjub dengan prestasi luar biasa Temu ini? Namun, coba
bayangkan, Temu cuma diupah Rp 60.000 dengan perhitungan 10 jam
bekerja, dari pukul 7 pagi hingga 5 sore. Atau, Temu hanya mendapat
upah Rp 6.000 per jam. Sementara di Amerika Serikat, yang jaraknya
berjuta-juta mil dari Desa Kemiren, CD Song Before Dawn terjual 12.000
keping (hanya di satu toko online). Berarti pendapatan dari penjualan
CD Temu: Rp 2.278.800.000 (total dalam satu jam). Ironisnya, tak
sepeser pun uang royalti diterima Temu. Kabarnya, suara Temu juga
dijadikan soundtrack film Hollywood, berdurasi 5 detik. Lagi-lagi
tanpa royalti.

Peredaran uang dari penjualan CD, kaset, dan unduhan Song Before Dawn
sangat besar. Ke mana muara pusaran uang itu? MSPI, FF, dan
Smithsonian Institution harus bertanggung jawab atas
kelalaian—HAKI—Temu dan hak komunal masyarakat Banyuwangi (penggunaan
syair-syair klasik gandrung di album Song Before Dawn).

Dalam UU Hak Cipta RI No 19/2002 disebutkan, bila lagu dan penciptanya
anonim, pada bagian ke 3, Pasal 10 Ayat (2): Negara memegang Hak Cipta
atas folklor dan kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama.
Seharusnya, seperti pada Ayat (2), dalam rangka melindungi folklor dan
hasil kebudayaan rakyat lain, Pemerintah dapat mencegah adanya
monopoli atau komersialisasi serta tindakan yang merusak atau
pemanfaatan komersial tanpa seizin Negara Republik Indonesia sebagai
Pemegang Hak Cipta. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari
tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut.

Ketidakadilan adalah kata yang tepat untuk menggambarkan jerat
kapitalisme global terhadap Temu. Ia telah dimanipulasi untuk
kepentingan "lembaga". "Lembaga asing yang mensponsori Temu punya
maksud lain," kata Kusnadi, antropolog maritim di Universitas Jember.
"Mereka diuntungkan, sementara Temu terpinggirkan."

Aekanu Hariyono, Humas Dinas Pariwisata, menilai positif kepedulian
MSPI, FF, atau Smithsonian Institution terhadap kehidupan seniman
tradisi di Banyuwangi. Ditanya tentang album Temu yang direkam Philip
Yampolsky, ia berujar, "Justru saya bangga sebab Temu dikenal banyak
orang. CD Temu bukan dikomersialkan, tetapi hanya untuk bahan kajian
musik tradisi. Cuma saya yang punya CD itu, tidak dijual di toko kaset
di Banyuwangi!"

Pada tahun 1991, Smithsonian Folkways Recordings mengeluarkan
publikasi resmi di AS dalam edisi Indonesia Seri Musik Indonesia
ditulis oleh Rahayu Supanggah (etnomusikolog), Endo Suanda (Ketua
MSPI), dan Philip Yampolsky (FF). Dalam pengantarnya Endo Suanda
menuturkan, "Salah satu pemikiran utama MSPI dan Smithsonian
Institution untuk mensponsori penerbitan Seri Musik Indonesia (Album
Gandrung Banyuwangi), yakni untuk menghargai dan memupuk kehidupan
budaya yang majemuk. Jadi penerbitan musik yang kurang dikenal ini
sama sekali tidak disertai niat untuk menunjukkan atau apalagi
mengeksploitasi eksotisme kesenian kita sendiri."

Padahal, hak cipta album Song Before Dawn dipegang Smithsonian
Institution yang bermarkas di Washington DC tanpa memberi royalti
kepada Temu. Di luar itu, di berbagai toko musik online, saya mencatat
pelanggaran HAKI berupa penyalahgunaan karya foto bergambar Gandrung
Mudaiyah untuk sampul album Song Before Dawn serta penghilangan nama
Temu sebagai penyanyi dan Basuki sebagai penyanyi latar.
Yang disebut
hanya: "Musik of Indonesia, Vol 1, Song Before Dawn".

Ketika bertemu Mudaiyah, saya perlihatkan sampul Song Before Dawn. Ia
tidak tahu-menahu. "Saya gak merasa diajak siapa pun." Berkali-kali
saya bertanya, kenalkah ia dengan Philip Yampolsky? Mudaiyah menjawab
tegas, "Kenal Philip saja tidak, apalagi diajak kerja sama."

Pada 12 Agustus 2007 saat menghadiri Mocoan (tradisi membaca lontar
dari tafsir Surat Yusuf), saya bersua dengan peneliti Belanda, Bernard
Arps, akademikus Universitas Leiden dan penulis buku Tembang in Two
Traditions: Performances and Interpretations of Javanese Literature.
Tampaknya Bernard berkawan baik dengan Philip Yampolsky. "Saya kenal
Philip sejak 1980-an," katanya. Ketika saya singgung soal album Song
Before Dawn yang dikomersialkan, ia menjawab, "Philip itu orangnya
fair, njunjung dhuwur istilah Jawa-nya. Entah kenapa bisa begitu? Saya
yakin Philip punya itikad baik." Menurut Bernard, di Amerika sudah
lumrah bahwa rekaman musik folklor dikomersialkan oleh Smithsonian
Global Recordings. "Barangkali tidak hanya CD Temu, tetapi banyak
musik folk yang lain. Sayangnya, saya tak tahu kesepakatan Temu dengan
Philip seperti apa?" kata Bernard yang fasih berbahasa Indonesia,
Jawa, dan Using.

Inikah risiko globalisasi yang melahirkan kebebasan teknologi dan
pasar bebas yang dibingkai apik oleh kapitalisme? Artinya, pasar bebas
hanya menguntungkan "raksasa modal". Apa yang diperoleh Temu? Tak
sepeser pun uang! Kemajuan materi tak memberi sumbangan yang berarti
bagi Temu walaupun hal itu membuat seni tradisi lebih bernilai. Benar
kata Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi 2001, "Globalisasi tidak
otomatis menguntungkan orang miskin!"

Kekesalan

"Duh, mau beli salon (pelantam) saja gak nyampek duite," kata Temu.
Kekesalannya membuncah. Profesi yang ia lakoni sejak tahun 1969 itu
tak memberinya kemapanan. Tekanan ekonomi juga dirasakan panjak Temu
bernama Basuki yang biasa disapa sebagai Pak Uki (75). "Tahun 1970-an
dulu gandrung bisa dapat 30 kali tanggapan dalam sebulan. Sekarang
sepi!" kata Basuki. "Dua bulan gak ada tanggapan sama sekali. Sampai
gelas digadaikan untuk makan!"

Beruntung, Temu masih menerima bagi hasil dari sepetak sawah warisan.
Ia juga menjual peyek dengan menitipkan di warung tetangga.
"Penghasilan gak pasti," kata Temu. Upahnya dari gandrung terop Rp
250.000, selain itu Temu nyinden di acara hajatan dengan upah Rp
100.000, dan di saat musim kampanye pilkades ia diupah Rp 60.000.

Temu dimiskinkan secara ekonomi. Ia hanya ditarik ulur demi dalih
menumbuhkan seni tradisi lokal. Kusnadi, peneliti wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil di Jember, melontarkan kritik tajam kepada peneliti
yang oportunistik, "Peneliti bertanggung jawab moral terhadap Temu.
Peneliti harus memberi umpan balik kepada pihak yang diteliti. Jadi,
bukan sekadar ajang prestise atau prestasi akademik."

Temu dipermainkan birokrasi lokal, misalnya diberi award dari Kanada
pada 14 Agustus 2001. Padahal, itu award palsu! Aekanu Hariyono dari
Dinas Pariwisata mengakui bahwa "award" itu dibesar-besarkan. Itu
hanya plakat dari pemerintah daerah yang diberikan ke Temu, (tapi)
seolah-olah datang dari Kanada," katanya.

Terakhir kali saya bersua dengan Temu, ia menghela napas panjang
sambil menyodorkan buku suntingan Philip Yampolsky bertajuk Perjalanan
Kesenian Indonesia. Di buku itu Yampolsky menuturkan kisah Temu, "Saya
akan terus menari sampai saya tidak laku". Temu seolah menyindir
kehadiran saya, seperti halnya Yampolsky. Orang-orang cuma datang
mengunjunginya, lalu pergi. "Ah, kabeh lali. Sing kuoso sing mbales!"
kata Temu.

FARIDA INDRIASTUTI Jurnalis, Peneliti Ilmu Sosial

Sumber: Kompas--Bentara-- 3 November 2007

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0711/03/Bentara/3965531.htm

http://artculture-indonesia.blogspot.com/2007/11/dari-kemiren-ke-hollywood.html

***********************************************

3. Menyingkap Selaput-selaput Buram: Dilema Kesenian Tradisi

Oleh ENDO SUANDA


Dilema kita adalah ketika menemukan dan menyikapi tarikan berseberangan: bawah dan elite; promosi dan eksploitasi; jasa dan dosa; legal dan moral; segera dan hati-hati; dan banyak lagi. Suatu konstruksi dari etnomusikolog, jurnalis, ekonom, atau politisi dapat membantu pemahaman publik di satu sisi, bisa pula menyesatkan di sisi lain. Kita dituntut menimbang secara arif dan cerdas, bukan hanya dari suatu ruang dan waktu, tetapi dari ruang ke ruang dan waktu ke waktu.

Membaca tulisan Farida Indriastuti (Bentara, 3 November), yang didahului oleh Maria Hartiningsih (26 Oktober) di harian ini, hati saya mendua. Di satu sisi gembira karena makin tumbuh kalangan luar yang peduli kesenian tradisional—ada ratusan jenis kesenian atau ribuan seniman senasib gandrung Banyuwangi dan penari Temu yang memerlukan perhatian. Kegembiraan bertambah demi melihat besarnya tanggapan publik di beberapa situs internet, selain banyak telepon, SMS, dan surel yang saya terima.

Di sisi lain saya kecewa. "Data" yang dikumpulkan Farida dan dicutat Maria, menurut saya, "jauh panggang dari api".

Keterlibatan saya pada seni tradisi merentang panjang: dari mulai ngamen di desa, menggarap sajian baru, mengajar, meneliti, memublikasikan, mengadakan revitalisasi, sampai mengorganisasi pertunjukan ke luar negeri—untuk sekadar menjelaskan mengapa saya merasa berkepentingan menanggapi tulisan mereka. Saya tidak mewakili lembaga; tidak lagi berwenang untuk itu. Tulisan ini sepenuhnya persepsi dan tanggung jawab pribadi, walau di sana-sini saya memakai kata kami ketika memang terlibat.

Salah satu topik pokok yang disoroti Farida dan Maria adalah CD musik Gandrung Temu yang, menurut para jurnalis-peneliti itu, laris sekali di luar negeri. CD itu, Songs Before Dawn: Gandrung Banyuwangi, adalah Volume 1 dari 20 CD seri Music of Indonesia (MOI) yang diterbitkan Smithsonian Folkways Records di Amerika Serikat. Pemimpin proyek MOI adalah Philip Yampolsky, etnomusikolog yang telah bertahun-tahun mempelajari musik Indonesia. Dialah pula pelaksana perekaman dan penulisannya, dibantu puluhan seniman-etnomusikolog Indonesia. Smithsonian bekerja-sama dengan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) sebagai mitra dan sponsor Philip untuk kerja-lapangan di Indonesia.

Terbitan pertama MOI Smithsonian tahun 1991 hanya tiga volume. Sedangkan 17 volume berikutnya diterbitkan dalam kurun lima tahun (1992-1997). Pemilihan dan penomoran volume tidak berdasar pada tingkatan nilai musik, melainkan pada kesiapannya saja. Pandangan etnomusikologi tidak membedakan harkat-derajat musik.

Di Indonesia penerbitannya dilakukan oleh Seri Musik Indonesia (SMI), lembaga khusus milik MSPI, untuk wilayah Indonesia dan Malaysia. Sampai kini SMI baru menerbitkan 10 volume: enam volume tahun 1997 dan empat volume tahun 1999.

SMI-MSPI mendapat dukungan dana dari Ford Foundation, demikian pula Smithsonian, untuk proyek MOI. Ketiga lembaga ini bukan perusahaan rekaman, melainkan LSM (NGO-NPO). Smithsonian sangat besar: memiliki museum, kearsipan audiovisual, penelitian/kajian, festival, dan lain-lain. Pengelola bidang rekaman, Folkways Records.

Tujuan dasar MOI adalah memperluas pengetahuan kebudayaan masyarakat yang beragam melalui pengadaan materi dan penumbuhan akses yang akan memberi sumbangan pada vitalitas dan kualitas kehidupan di dunia. Di situlah persamaan misi Smithsonian dengan SMI-MSPI. Di situlah pula terkandung "tujuan pendidikan" walau kedua lembaga itu tidak membangun sekolah.

Produk dan pasar

Rekaman SMI (Smithsonian-MSPI) mudah dibedakan dari produk pasar. Musik yang direkam Philip dan teman-teman tidak melalui "pengembangan", misalnya, dengan diatur ulang oleh komposer modern. Semua dimainkan sewajarnya oleh para seniman yang biasanya. Engineering suara jelas dilakukan, tetapi "elektronisasi"—umpamanya mempertinggi bass dan treble, reverberasi, dan lain-lain, sehingga suaranya "lebih bergema" seperti pada umumnya rekaman pasaran—tidak ada. Penulisan naskahnya panjang lebar, dalam bahasa Inggris dan Indonesia, berisi analisis teknis dan konteks sosial yang juga tak terdapat dalam produk pasaran.

Ketika SMI mau diluncurkan, banyak kritik: isi musiknya dianggap "akademis", datar, atau sederhana. Agar laku, menurut kritik itu, SMI harus dimodifikasi atau dicampur dengan musik garapan baru yang "atraktif". Tetapi misi kami, walau ingin laku, bukan dengan larut pada selera pasar, melainkan dengan menawarkan "selera baru". Memberi akses pada kebutuhan "kecil" adalah perlu dengan berharap bisa membangun pasar "yang-berbeda", tumbuhnya kesadaran pada musik-musik yang selama itu dianggap "tidak berkembang". Jenis musik yang direkam bukan yang telah banyak dipublikasikan, seperti gamelan Jawa dan Bali, atau tembang Sunda. Musik-musik dari Nias, Mentawai, Biak, umpamanya, masuk dalam program terbitan.

Album-album SMI tak banyak terjual. Dari sekitar 2.200 keping masing-masing CD dan kaset versi Indonesia, selama 10 tahun hanya sekitar setengahnya terjual di pasar. Yang lainnya diberikan gratis atau dijual dengan subsidi pada pihak-pihak yang memerlukan (misalnya guru/dosen kesenian). Untuk distribusi di pasar umum, SMI bekerja sama dengan Dian Records. Pada awal terbit Dian menyebarkan ke seluruh agennya di berbagai wilayah. Empat bulan kemudian sekitar 80 persen kaset itu kembali. Toko-toko hanya mau memajang tiga bulan. Mereka konon tak punya ruang pajang, terdesak oleh produk yang lebih laris, dan kami membayar biaya pengiriman dan pengembalian.

Selain di pasar umum, SMI membuka outlet khusus, seperti di universitas, galeri, toko buku, taman budaya, hotel, kafe, dan sebagainya. Harapannya, di luar pasar konvensional terdapat komunitas yang memerlukan. Hasilnya? Tetap sedikit; bahkan di bawah penjualan Dian.

Hasil penjualan bruto untuk biaya overhead pun tak cukup. Jika sampai sekarang SMI baru menerbitkan 10 volume, padahal MOI 20 volume, selain kendala teknis juga adalah perhitungan "bisnis" di mana 10 volume pertama belum terjual baik.

Situasi itu menunjukkan bahwa SMI-MSPI tak bisa hidup dengan andalan hasil jualan selama belum terbangun pasarnya. Sejak didirikan pendanaan MSPI didapat dari donatur filantropis Ford Foundation yang paling peduli terhadap tujuan kami, yakni untuk penguatan nilai sosial-budaya. Bahkan, lembaga yang dibantu Ford tidak boleh berorientasi pada laba. Singkatnya, tanpa bantuan Ford, SMI-MSPI, juga Folkways-Smithsonian, tidak akan bisa mewujudkan 20 volume MOI.

Hitung-menghitung dan Amazon.com

Durasi musik yang direkam Philip sekitar 360 jam. Yang diterbitkan 20 volume (25 jam), sekitar tujuh persen saja. Sisanya yang 335 jam dimiliki SMI-MSPI dalam kepingan DVD dan hardisk, dan telah pula diberikan pada Perpustakaan Nasional sebagai arsip negara. Dokumentasi seperti itu menurut kami sangat perlu sebagai sumber studi yang memungkinkan kita bisa "mendengar budaya" dari sekian banyak masyarakat negeri. Jika sekarang kita tidak atau belum merasa penting, siapa tahu 100 tahun ke depan.

Lembaga nonprofit juga jualan—dan itu berlaku di mana- mana. MSPI, LKIS, Desantara, ATL, misalnya, menerbitkan buku yang dijual di pasar. Majalah kesenian Gong, suatu misal lain yang saya kelola, juga dijual. Setelah delapan tahun berjalan, hasil penjualan dan iklan Gong baru sekitar sepertiga dari biaya produksi.

Marc Perlman, profesor etnomusikologi Brown University, AS, pernah menyampaikan bahwa penerbitan musik-musik tradisi di mana-mana sampai sekarang masih bersandar pada bantuan lembaga donor. Marc kini di Washington DC, "kuliah" pascadoktor tentang copyright, dan di antaranya mengadakan studi MOI di Smithsonian. Analisisnya yang khusus mengenai Songs Before Dawn seperti berikut.

Menurut Smithsonian/Folkways, biaya memproduksi satu volume MOI sekitar 50.000 dollar AS. Dalam kurun waktu 16 tahun (1991-2006), penjualan CD Songs Before Dawn tidak melebihi 4.250 keping—jika dirata-ratakan 266 keping saban tahun. Anthony Seeger, mantan direktur Smithsonian-Folkways yang kini menjadi profesor etnomusikologi UCLA, kepada Philip Yampolsky menguatkannya: "Tak ada satu pun volume MOI yang dicetak lebih dari 5.000 keping."

Makin lama indeks penjualan menurun. Sejak tahun 2003, penjualan Songs Before Dawn rata-rata 60 keping per tahun. Marc kemudian memprediksi BEP: dari harga eceran 16,98 dollar AS, labanya dihitung 5 dollar AS. Laba sekarang 4.250 x 5 dollar AS = 21.250 dollar AS; defisitnya 28,750 dollar AS (50.000-21.250). Jika dari sekarang ke depan diambil angka 60 keping per tahun (300 dollar AS), maka BEP akan tercapai 96 tahun lagi (28.750 dibagi 300). Jika bantuan Ford sebanyak 650.000 dollar AS (untuk 10 tahun penelitian, perekaman, dan pembelian peralatan) juga dari Smithsonian, maka biaya produksi satu album MOI adalah 82.500 dollar AS dan BEP-nya baru akan tercapai dalam 204 tahun lagi, atau 220 tahun dari mulai diterbitkannya.

Dari mana uang untuk menutupi kerugian Smithsonian atas produksi MOI? Mungkin dari keuntungan yang didapat dari penjualan CD lain (bukan Indonesia) yang laku di atas 10.000 keping sehingga bisa subsidi-silang. Tetapi, sebagian besar dana didapat dari para donor yang peduli terhadap misi kultural.

Serupa itu pula perhitungan bisnis di Indonesia. Adi Nugroho, pemilik perusahaan rekaman Dian Records, pada awal negosiasi SMI mengatakan bahwa dari aspek bisnis ia tidak tertarik. Ia yakin SMI tidak akan laris. Ia melakukannya karena melihat "produk ini memiliki harkat tersendiri, yang bisa menumbuhkan wawasan keanekaan budaya bangsa. Saya merasa bangga walau tidak untung".

Maka, ketika melihat data "fantastis" yang ditunjukkan Farida, saya tersentak karena bertolak belakang dengan pandangan selama ini. Saya lakukan penelusuran pada sumber data yang didapatkan Farida, yang menurut Sigit B Setiawan adalah hasil para peserta "pelatihan jurnalistik perempuan multikultural berbasis etnografi" yang diadakan Kajian Perempuan Desantara di mana Maria Hartiningsih adalah salah seorang fasilitatornya.

Amazon.com didirikan tahun 1994 di Amerika, baru launching tahun 1995. Mustahil apa yang ditulis Farida "Pada medio Juli 1992, amazon.com (AS) mencatat angka penjualan album CD Song Before Dawn sebanyak 284.999 keping (dalam tempo 24 jam)". Apalagi Amazon.com di Perancis disebutkannya tahun 1991.

Baiklah, angka tahun: mustahil itu, barangkali cuma salah ketik. Tetapi, tampaknya ada kesalahan yang menurut ukuran penelitian sangat "dahsyat": Amazon.com sama sekali tidak merilis angka penjualan suatu barang. Yang saya temukan adalah angka-angka peringkat (sales rank), yang jumlahnya enam digit seperti angka Farida. Angka peringkatan berubah-ubah: CD Gandrung tanggal 4 November (pukul 18:39) adalah 160.284; 6 November pukul 09:18 menjadi 175.107, dan 3,5 jam berikutnya (12:48) adalah 176.112. Artinya, bukan pada 6 November pukul 09:18 terjual 175.107 keping dan pukul 12:48 176.112 keping, melainkan rankingnya turun—entah dari berapa totalnya; tetapi makin tinggi angkanya makin rendah jumlah-relatif penjualannya. Kita tidak bisa menyimpulkan jumlah keping yang terjual. Farida bisa?

Seandainya asumsi saya benar, Farida membaca sales rank sebagai keping penjualan, maka angkanya itu absurd dan salah fatal. Bahkan, bisa disebut "provokatif" kalau bukan "fitnah" karena begitu mencolok: mengentak hati pembaca, menggerahkan publik. Saya tidak menganggapnya sebagai pemalsuan angka yang jahat, tetapi kesalahan bodoh karena ceroboh. Jika sebaliknya Farida benar, saya akan merasa bloon, demikian juga Marc bisa disebut peneliti "bodoh", yang menghitung penghasilan bersih Smithsonian dari CD Song Before Dawn sampai kini sekitar 200 juta selama 16 tahun. Sedangkan kalkulasi Farida lebih dari setengah triliun dalam 24 jam dari satu outlet. Berapa pendapatan setahun? Dari puluhan atau ratusan outlet? Entah bagaimana menghitungnya: tetapi cara Farida akan menghasilkan rasio jutaan kali lipat dari cara Marc.

Saya terus mencari logika angka-angka Farida: harga CD 16,98 dollar AS; kurs Rp 10.000/dollar AS; Rp 189.900/CD; dan total Rp 550.418.102.000. Saya gagal menemukan keterkaitan keempat figur angka ini. Rumusnya bagaimana?

Dari orang-orang bisnis yang saya kenal, tak seorang pun yang menghitung untung dari jumlah jual dikali harga eceran. Biaya produksi, promosi, pengiriman, dan potongan pengecer, umumnya diperhitungkan 40-80 persennya. Jadi, perhitungan Marc lebih dekat dengan logika para pebisnis teman saya.

Refleksi

Karena data Farida dicutat pula Maria Hartiningsih, kedua orang ini mestinya turut bertanggung jawab. Bukankah cross-check data merupakan bagian dari tanggung jawab jurnalisme? Apalagi terhadap rumusan-rumusan provokatif.

Sambil menunggu klarifikasi, karena saya peneliti, saya merenung tentang apa artinya "penelitian" kesenian/seniman desa seperti Gandrung Temu ini: apa manfaatnya baik bagi peneliti maupun senimannya? Dalam keduanya terdapat unsur saling minta-dan-beri, material maupun imaterial. Adanya diskursus hangat mengenai para seniman dari sudut akademik, media (cetak, rekam), pasar, dan politik sering-sering berada di luar jangkauan akses maupun minat mereka sendiri. Mungkin menguntungkan atau membahagiakan mereka. Mungkin juga sebaliknya: membingungkan, meresahkan, memalukan. Mungkin merekatkan tali hubungan pertemanan, kekeluargaan. Mungkin juga merenggangkan. Itu semua akan tergantung dari orangnya (seniman, peneliti, jurnalis, manajer, birokrat) dan kasusnya dan oleh rapport yang ditumbuhkannya sebagai perwujudan "niat" dan "cara".

Untuk mengevaluasi itu tidak sederhana. Setiap tindakan (dan fenomena) memiliki banyak selaput, tipis dan tebal, yang menyelimuti. Setiap lapisan bisa "bersuara" beda sehingga untuk memaknainya ruwet, atau "thick" jika meminjam istilah Clifford Geertz dari metode thick description-nya yang tersohor. Suatu makna tergantung dari konstruksi yang memaknainya: pelaku, penonton, peneliti, maupun jurnalis. Setiap pemakna menjadi subyek: the anthropologist is the author, kata Geertz pula.

Melimpah ruahnya informasi yang bisa diakses cepat menciptakan "selaput" yang lebih ruwet sehingga lebih menuntut kepekaan, kecermatan, dan seleksi dalam memaknainya. Di pihak lain, tuntutan fantastis, menarik perhatian, dan segera juga makin tinggi. Tetapi, makin fantastis menyuarakan (konstruksi), risiko fantastis makin tinggi pula. Makin lekat pada "the law of attraction" makin mudah terjebak pada selaput atraktif sehingga luput dari suara selaput-selaput lain. Pasar adalah selaput atraktif. Demikian juga, "perjuangan kemanusiaan".

Dilema kita adalah ketika menemukan dan menyikapi tarikan berseberangan: bawah dan elite; promosi dan eksploitasi; jasa dan dosa; legal dan moral; segera dan hati-hati, dan banyak lagi. Suatu konstruksi baik dari etnomusikolog, jurnalis, ekonom, ataupun politisi dapat membantu pemahaman publik di satu sisi, bisa pula menyesatkan di sisi lain. Kita dituntut menimbang secara arif dan cerdas, bukan hanya dari suatu ruang dan waktu, tetapi dari ruang ke ruang dan waktu ke waktu.

Saya harap Farida membuktikan dan menjelaskan perhitungannya. Bila ia benar, saya akan bahagia. Bila ia salah, akan sangat memprihatinkan bukan hanya terhadap kesenian, juga pada disiplin penelitian, standar etnografi, etika akademis, dan jurnalisme kita.


ENDO SUANDA Etnomusikolog, Mantan Ketua SMI-MSPI, Tinggal di Bandung

Sumber: KOMPAS [Bentara], Rabu, 28 November 2007

Http://www.kompas.com/kompas-cetak/0711/28/Bentara/4034123/htm

**************************************************************

4. Gandrung Temu, Merawat Harapan
Tanggapan atas Endo Suanda (Bentara, 28 November 2007)

Oleh:FARIDA INDRIASTUTI

Saat bersua dengan Gandrung Temu dan Basuki (panjak gandrung) Agustus 2007 di Desa Kemiren, Banyuwangi, terlintas di benak saya apakah hal yang sama akan menimpa keduanya, seperti nasib Rasminah maestro penari topeng Cirebon yang terpaksa makan nasi aking karena terbelit masalah ekonomi, sementara namanya begitu populer hingga ke mancanegara.

Saya lahir di tengah keluarga wartawan—seniman tradisi. Kakek saya seorang dalang Istana Merdeka di zaman Bung Karno. Saya tahu persis kehidupan seniman tradisi kita seperti apa: buram! Tak ada niat sedikit pun merendahkan ranah intelektual, apalagi melanggar kode etik jurnalistik seperti yang dituduhkan kepada saya. Saya juga mencintai profesi jurnalis dengan sepenuh hati. Sebagai penulis saya menghormati narasumber (informan), termasuk Philip Yampolsky. Oleh sebab itu, pada 8 September 2007 pukul 12.57 saya mengirimkan surat elektronik yang berisi pertanyaan seputar Temu—dengan alamat e-mail pyampolsky@yahoo.com. Penantian saya selama 2,5 bulan tanpa hasil.

Kalau saya dituduh bekerja tanpa standar jurnalistik, tak melakukan kros cek kepada narasumber, saya tegas menolak! Saya telah berusaha menghubungi narasumber. Surat elektronik yang saya kirim tak mendapat tanggapan apa pun!

Sebagai penulis saya memang bertanggung jawab atas kesalahan data: rank sales amazon.com dan kalkulasi angka yang terlalu besar. Tapi, soal mikro jangan sampai mengalihkan soal yang lebih besar. Yang saya suarakan bukanlah melulu besaran angka, tapi terutama nasib seniman tradisi kita yang terpuruk, karena dimanipulasi oleh sejumlah "lembaga" dan "pribadi".

Di Kemiren, Temu pernah menuturkan, "Kata Pak Philip, rekaman itu untuk pembelajaran saja. CD-nya tidak dijual". Pendapat serupa juga dikatakan oleh Basuki, bahkan ia menjawab, "CD saja tidak diberi!" Toh, kenyataan di lapangan bertolak belakang. CD Song Before Dawn dijual hingga aras internasional. Ironis, bila rekaman album Temu yang berawal dari ranah intelektual itu, karena satu dan lain hal, tak mengindahkan standar moral. Buktinya, tidak ada MOU berupa surat tertulis atau kuitansi pembayaran honor kepada Temu dan kelima panjak gandrung. Apakah itu bukan persoalan?

Akan berbeda kasusnya tatkala Temu berurusan dengan perusahaan rekaman lokal seperti Sandi Record. Biarpun dibayar cuma Rp 1 juta per album, ada proses negosiasi antara Temu dan Sandi Record. Ia pun menganggap persoalan itu cukup adil. "Dulu saya dibayar Rp 500.000," kata Temu.

Maaf, bila saya menemukan fakta yang berbeda. Secara pribadi saya berterima kasih atas koreksi dan tantangan Endo Suanda agar membuktikan dan menjelaskan perhitungan angka. Saya hanyalah wartawan lepas di kantor berita Italia, sesekali menulis untuk situs The Cheers dan Kyoto Review Journal. Barangkali saya tak (layak) diperhitungkan oleh kolega Endo Suanda, narasumber sehebat dan sekredibel Philip Yampolsky, Anthony Seeger, atau Daniel Sheeny. Pertanyaan yang saya ajukan (hanya bisa lewat surat elektronik karena saya tak punya dana untuk mengajukannya secara lebih baik dan langsung), agaknya tak dianggap penting!

Di balik itu semua, saya sedih bercampur gembira, banyak tanggapan publik di situs internet baik yang pro dan kontra. Saya perlu tegaskan bahwa saya mendompleng penelitian orang lain, seperti yang dituduhkan oleh pihak tertentu di berbagai milis. Saya percaya dengan instinct of journalism, bahwa nasib Temu dan kelima panjaknya layak disuarakan.

Bila Endo Suanda kecewa dengan data yang saya kumpulkan dan dikutip oleh Maria Hartiningsih: "jauh panggang dari api", saya pun kecewa, mengapa sejumlah intelektual (etnomusikolog) bisa "berdusta" kepada seniman tradisi? Saya prihatin mengapa kegiatan penelitian dan intelektual yang niat tertulisnya tentu bagus dan mulia itu ternyata tak membawa perubahan yang membanggakan pada kehidupan para seniman tradisi. Jika ada yang tampak jelas memetik manfaat nyata dari kegiatan riset itu, itu adalah para periset dan intelektual tersebut, bukan seniman tradisi yang menjadi bahan penelitian itu sendiri. Setidaknya, sejumlah seniman tradisi belum mendapatkan manfaat yang setimpal dari berbagai penelitian yang pelaksanaannya dimungkinkan oleh kesediaan para seniman tradisi itu untuk bekerja sama.

Sempat saya baca tanggapan Halim HD, penulis kebudayaan, seputar polemik tulisan "Dari Kemiren ke Hollywood" (Bentara, 3 November 2007). Ia menuliskan, "[…] Saya ingat obrolan di rumah seorang kenalan di Evanston, Utara Chicago, Amerika. Pada suatu Konferensi Studi Asia di hotel Palmer. Saya ditanya oleh sang peneliti yang mendapat kepercayaan Smithsonian dan pengelola proyek itu (Philip Yampolsky): Bagaimana pendapat saya tentang honorarium asistensi. Lalu sang peneliti yang nampak lemah lembut itu menyampaikan bahwa posisi Rahayu Supanggah akan dibayar sebesar Rp 750 ribu. Dan ia juga membeberkan bahwa di bawahnya seorang asisten hanya mendapat Rp 250 ribu. Saya cuma melongo. Saya tidak bisa membayangkan sosok mas Panggah yang dijadikan asisten (seorang peneliti dan juga komposer handal kita). Saya tidak tahu berapa ribu dollar AS untuk sang pengelola proyek itu? Terakhir saya dengar ia dibayar oleh Smithsonian sekitar tiga ribu dollar AS. Tidakkah honorarium bagi sosok seperti Rahayu Supanggah dan asisten-asistennya terlalu kecil? Sangat menarik jawaban pengelola proyek: "Mereka kan sambil belajar dan dibayar!"

Bila benar yang dikatakan Halim HD, bahwa komposer andal seperti Rahayu Supanggah saja minus penghargaan atas hak intelektualnya, apalagi dengan Gandrung Temu? Faktanya, suara Temu direduksi secara bebas hingga menembus batas negara, sedangkan hak asasinya dilanggar. Keterpurukan Temu justru terjadi di saat ia bersentuhan dengan ranah intelektual (dunia penelitian).

Sedang di posisi gandrung terop, Temu aman-aman saja. Artinya, Temu dihidupi oleh panggung gandrung. Sebaliknya, panggung gandrung tetap hidup berkat napas Temu. Bukan tidak mungkin bahwa kritik Horkheimer dan Adorno dalam The Dialectic of Enlightenment (1972) itu benar: industri budaya merupakan media yang paling strategis untuk mengubah nilai guna (kegunaan yang dimanfaatkan menjadi komoditas) menjadi sesuatu yang diproduksi oleh sistem kapitalisme.

Saya memercayai logika itu, yang menyeret Gandrung Temu ke tempat yang tak terjangkau. Saya pun tak memungkiri, ada lembaga nirlaba dan lembaga donor internasional yang sungguh membantu secara finansial. Meski demikian, pelaksanaan di lapangan bisa saja menyimpang dari niat mulia itu, jauh panggang dari api.

Semisal Smithsonian Institution, bukankah sebagai lembaga filantropi internasional ia tak berhak mengomersialkan CD Song Before Dawn. Kenapa CD, kaset, dan unduhan MP3 Song Before Dawn bisa dijual di berbagai situs toko online di berbagai negara? Bukankah di Amerika, lembaga itu bebas pajak? Dalam klausul Smithsonian (lacak di situs Smithsonian) disebutkan artis berhak atas royalti. Namun, hingga kini, tak sepeser pun uang diterima Temu dari proyek CD Song Before Dawn itu!

Untuk menjadi sri panggung, Temu melewati suka duka dan jalan terjal, dari stigma buruk hingga proses panjang menjadi gandrung. Penulis kebudayaan Banyuwangi, Eko Budi Setianto, mengatakan, "Temu sudah melekat begitu hebatnya di masyarakat. Suka dukanya sebagai gandrung sangat luar biasa. Dari awal sampai diakui oleh masyarakat, menanggung dosa sampai menjadi tokoh yang terkenal. Kehebatan Temu karena memiliki suara yang khas, sulit ditirukan oleh gandrung lain".

Gandrung adalah napas hidup Temu. Ia telah berjanji tak akan meninggalkan panggung gandrung, kecuali tubuhnya tak mampu digerakkan lagi. Temu, perempuan santun yang mampu menahan urat marahnya, secara sukarela (tanpa diupah) tetap mengajari anak-anak di kedua desa, Kemiren dan Olehsari, menari juga menyanyi.

Seperti yang dikatakan gandrung cilik bernama Wulan (14), "Kalau kita ikut gandrung, sama Mbok Temu dikasih Rp 75.000." Santi (13) menimpali, "Kata Mbok Temu, kalau menari diingat-ingat gimana urutannya."

Hidup Temu adalah loyalitas dan pengabdian terhadap seni tradisi. Ia selalu membagi rata setiap rezeki yang diterima dengan panjaknya (pun) dengan rasa syukur. Seperti yang diajarkan (alm) Anwar, seniornya di pentas gandrung.

Temu yang tak menyelesaikan pendidikan dasarnya bisa bersikap arif-bijaksana. Ia tak mengabaikan hak-hak gandrung cilik, "Saya hanya membantu ekonomi keluarga mereka. Selain regenerasi, biar tradisi gandrung tak mati di Banyuwangi," kata Temu.

Walau sulit dinalar, atau saya yang tak memahami pemikiran Temu, di saat terbelit kesulitan ekonomi, ia masih memikirkan nasib orang-orang di sekelilingnya. Secara batin ia sangat kaya meski menyandarkan hidup pada panggung gandrung. Uang bukanlah segalanya bagi Temu.

Berkat Temu, panggung gandrung tetap hidup walau kenyataannya semakin redup sejak tahun 1990-an, tergeser oleh budaya instan seperti musik dangdut dan organ tunggal. "Gandrung tergilas teknologi, pergulatan ekonominya sangat besar. Gandrung dipaksakan untuk tetap hidup," kata Kusnadi, peneliti Universitas Jember. "Dulu tumbuh subur karena basis masyarakat petani sangat kuat."

Masalahnya, kontrol terhadap teknologi tak mungkin dibatasi. Tak ayal, teknologi mampu menggeser seni tradisi yang utuh menjadi komoditas yang instan meskipun di sisi lain, kemudahan teknologi berperan penting meningkatkan sumber daya lokal.

Sebagai penulis saya coba menafsirkan gandrung, tetapi hal terpenting dari penelitian ini ialah mengubah cara pandang (perspektif) seniman tradisi terhadap dunia di luar mereka. Juga agar para "orang pintar" yang disebut Temu tak (lagi) memanfaatkan kelemahannya. Bukankah Temu berjasa bagi warga dunia dan melahirkan begitu banyak gelar master dan doktor di ranah akademik? Toh, Temu tak menuntut imbalan apa pun, kecuali perlakuan secara adil!

Saya berharap pemerintah tak bersikap curang mempermainkan nasib seniman tradisi seperti Temu dengan perolehan pajak. Bagi masyarakat intelektual, Temu masih menantikan sebuah pewujudan harapan!

Ia telah membuka mata saya bahwa seni tradisi adalah ranah yang rentan disalahgunakan. Tanpa maksud "berprasangka negatif" terhadap lembaga atau pribadi yang berusaha menumbuhkan kebudayaan lokal, Temu mengingatkan keterbatasan saya, ternyata korpus ilmu pengetahuan tak/belum memberikan manfaat terhadap Temu.

Namun saya percaya, ilmu pengetahuan jugalah yang akan sanggup memecahkan kerumitan ini. Mengubah penindasan menjadi keindahan, seperti halnya Temu di atas panggung gandrung. Bukankah kajian akademis telah menunjukkan bahwa selama berabad-abad kepulauan Indonesia telah menghasilkan karya-karya artistik yang luar biasa? Suara Temu pun merupakan eksotisme Timur, diakui atau tidak!

Di rumah Temu yang bercat putih kusam, berlantai semen berlubang di sana-sini, jendela tanpa tirai, kursi tua yang lusuh dan di sudut ruang teronggok televisi buram (tua) 14 inci, saya melihat wajah Temu pucat. Ia begitu lelah menjalani rutinitasnya sebagai gandrung terop.

"Mereka janji thok [tapi] gak ada buktinya!" kata Temu menyambut tamunya. Padahal, menjadi gandrung tak sesederhana yang dibayangkan. Prosesnya amat rumit. Dari diakui oleh masyarakat, lantas mendatangi pini-sepuh kebudayaan Using. Tak sembarang orang bisa menjadi gandrung. "Gandrung bertahan karena kekuatan tradisi dan perempuan yang ada di dalamnya," kata Eko Budi Setianto.

Seperti yang ditulis Maria Hartiningsih pada rubrik Sosok "Jalan Kehidupan Gandrung Temu" (Kompas, 26 Oktober 2007), "Saya mau tidur pada waktunya orang tidur. Bukan teriak-teriak nyanyi dan pencilatan menari...".

Sungguh Temu gundah, sebagai janda tanpa anak. Tubuhnya kian tua, sering kali pegal di bagian sendi dan punggungnya, biarpun masih bertenaga. "Tapi suara Temu tak sekuat dulu," kata Basuki suatu hari dari balik panggung. Di Kemiren ia hanya mengasuh cucu keponakan (yang memiliki kekurangan fisik "bisu") dan merawat kakak ibunya yang sudah teramat tua. Siapa yang kelak diharapkan Temu bila tubuhnya tak sintal dan tulangnya rapuh di gerogoti usia? Belum tentu 10 tahun ke depan Temu masih kuat melenggok, mengibaskan sampurnya di atas panggung.

Menurut saya, ini masalah bersama. Saya memahami benar risiko menulis Gandrung Temu sejak di Kemiren. Pasti menjadi polemik dan dituduh fitnah! Tapi, konsentrasi saya adalah kerisauan hidup Temu dan Basuki. Di dalam hati saya resah, melihat kegigihan Temu dan Basuki—yang harus menggadaikan gelas untuk makan!

Secara pribadi saya tak bermaksud menciptakan polemik kepada Endo Suanda atau Philip Yampolsky. Saya pribadi menghargai itikad baik keduanya, sebagai etnomusikolog yang mengembangkan wacana berkesenian di Indonesia. Tentu saja, setiap tindakan selalu disertai rambu-rambu atau norma biar kita tak salah langkah. Kalaupun kesalahan langkah terjadi, upaya untuk mengakui kesalahan itu lalu mengoreksinya menjadi tuntutan yang tak dapat dielakkan.

Temu tak memiliki deposito masa depan seperti para etnomusikolog. Yang ia miliki hanyalah bersuara dan menggerakkan tubuhnya di atas panggung gandrung. Tapi, setiap gerak adalah napasnya, Temu tetap akan menari hingga tak laku. Bahkan kelak posisinya digantikan oleh gandrung-gandrung muda yang lebih sintal dan berparas ayu. "Asal gandrung tak mati!" kata Temu.

FARIDA INDRIASTUTI Jurnalis, Tinggal di Jakarta

Sumber: Kompas--Bentara--5 Januari 2008

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0801/05/Bentara/4124948.htm

****************************************************************

Penjelasan dari Desantara, diposting di Milis Mediacare dan Forum Pembaca Kompas


Sehubungan dengan dimuatnya tulisan Saudari Farida Indriastuti "Dari
Kemiren ke Hollywood" di rubrik Bentara Harian Kompas pada Sabtu 3 November 2007, kami dari Kajian Perempuan Desantara ingin meluruskan beberapa hal mengenai tulisan yang diklaim sebagai riset mandiri Saudari Farida. Sebagai informasi, pada tanggal 2 Agustus sampai dengan 1 September 2007, pihak kami Kajian Perempuan Desantara, melalui Jurnal Srinthil kami mengadakan pelatihan jurnalistik perempuan multikultural berbasis etnografi yang menempati wilayah Desa Wisata Using Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Dlam acara itu hadir sebagai narasumber dari kalangan seniman, seniwati, budayawan dsb semacam Hasnan Singodimayan, Fatrah Abal, mbok Temu dsb. Bernard Arps yang merupakan kawan akrab semang sekaligus panitia lokal kami Adi Purwadi pun beberapa kali mampir untuk berbagi cerita. Dalam acara tersebut kami melibatkan Bisri Effendy (LIPI), Kirik Ertanto (Save the Children), Novi Anoegrajekti(Kajian Perempuan Desantara), M Surur (Desantara) sebagai fasilitator dan hadir pula Maria Hartiningsih dan Melani Budianta sebagai pemateri acara. Maksud dan tujuan pelatihan tersebut tidak hanya ingin mencetak penulis atau peneliti yang tidak hanya mempunyai perspektif perempuan multikultural, namun juga mempunyai tanggung jawab dan kejujuran intelektual terhadap masyarakat.


Sungguh apa yang ditulis oleh Saudari Farida bukanlah sebuah riset mandiri dengan data mandiri yang murni didapatkan oleh Saudari Farida. Riset tersebut adalah bagian dari pelatihan yang kami lakukan, yang hasil penelitian tersebut sekarang dalam proses penerbitan, seperti yang disepakati secara tidak tertulis pada waktu pelatihan antara peserta-termasuk Farida- dengan pihak kami. Data yang diperoleh Farida adalah data beberapa orang peserta serta pihak kami, yang memang dipertukarkan selama pelatihan tersebut. Kehadiran para narasumber yang ada dalam tulisan tersebut, bukanlah usaha Farida mandiri. Begitu pembuatan alur tulisan, adalah arahan fasilitator sebagai pembimbing lapangan. Sungguh kami menyesalkan, tindakan yang dilakukan oleh Saudari Farida yang tidak mencantumkan kredit pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian tersebut, terlebih saudari Farida menerbitkan tulisan teresbut ke pihak lain, tanpa pemberitahuan dan sepengetahuan dari kami.


Bahkan, mulanya ide tulisan dan angle tulisan Farida tersebut adalah riset desain penelitian Saudari Nunung Qomariyah, yang pada akhir sesi penelitian mundur mengalah menulis yang mulanya menjadi riset desain Saudari Farida: biografi perempuan seni tradisi Temu. Sebagai informasi, selama penelitian tersebut, saudari Farida berpasangan dengan Saudari Nunung, karena subyek yang sama, dan beberapa teman lain, karena tema yang sama. Bukti penelitian dan data Farida yang tidak mandiri, lebih lanjut bisa ditelisik di tulisan Ibu Maria Hartiningsih tanggal 26 Oktober 2007 yang berjudul "Tarian Kehidupan Gandrung Temu," selain foto-foto, transkrip dan rekaman yang ada pada kami. Rasa kebersamaan, persaudaraan dan menjujung etika intelektualah yang membuat kami saling berbagi selama pelatihan.

Apa yang dilakukan Saudari Farida mungkin salah satu cermin buruk yang biasa tampak dan berulang terjadi pada dunia intelektual kita. Semoga, selanjutnya dalam tulisan Saudari Farida selain memberikan manfaat pada kalangan seniman / seniwati tradisi, tapi seharusnya juga mampu menjadi ejawantah tangungjawab dan kejujuran intelektual. Demikian atas perhatiannya, kami ucapkan terimakasih.


Sigit Budhi Setiawan
Koordinator Pelatihan Jurnalistik Perempuan Multikultural berbasis Etnografi,

Kajian Perempuan Desantara.
Desantara Institute for Cultural Studies
Jl. Pemuda 35 Depok Jawa Barat 16431

telp. 021-7775425

No comments: