Monday, March 3, 2008

Dokumentasi Dan Publikasi Musik Gondang Sabangunan: Sebuah Retrospeksi

OLEH: Mauly Purba [FS-USU]


A. Permasalahan

Tulisan ini akan meretrospeksi sejauh manakah musik Gondang Sabangunan Batak Toba mendapat perhatian dalam konteks ilmiah atau akademik di Indonesia maupun di luar Indonesia. Pertama, pemeriksaan ini akan menyoroti publikasi-publikasi yang ada, Kedua, melihat aspek-aspek yang pernah diteliti. Misalnya, sejauh mana sejarah dan perkembangan, konteks dan fungsi sosial, struktur musik, sistem dan teori lisan musik Gondang Sabangunan, yang selama ini “tersembunyi” dibalik komposisi-komposisi gondang yang disajikan melalui kepiawaian tangan-tangan “pargonsi” sudah terungkap, ditelaah dan dikomunikasikan terhadap masyarakat luas? Ketiga, melihat sejauh mana usaha pengarkaifan musik Gondang Sabangunan sudah dilakukan di Indonesia maupun di luar Indonesia serta sejauh mana orang Batak Toba, juga pihak-pihak yang berwenang memberikan perhatian dan menyadari nilai sebuah arkaif. Hasil evaluasi ini diharapkan memberikan gambaran bagaimana sebenarnya porsi Gondang Sabangunan dalam publikasi dan dokumentasi, sebagai suatu usaha “pelestariannya” di era globalisasi informasi pada saat ini.

B. Retrospeksi Literatur dan Dokumentasi Musik Gondang Sabangunan

Sampai menjelang akhir abad ke dua puluh kebudayaan musik suku-suku di Sumatera Utara, khususnya kebudayaan suku Batak Toba, secara garis besar masih merupakan “total musicological terra incognita” (Kartomi 1987:333). Dengan kata lain, kebudayaan musik suku-suku di Sumatera Utara belum dikenal secara luas dan belum mendapat perhatian serius dari para sarjana Etnomusikology atau para sarjana ilmu sosial lainnya yang menaruh minat khusus pada kebudayaan musik. Pandangan ini cukup beralasan, karena didasari pada kenyataan minimnya referensi yang ada. Namun demikian, pernyataan ini tidak semata-mata mengabaikan tulisan tentang musik suku-suku di Sumatera Utara oleh para sarjana ‘tempoe-doeloe” yang berasal dari Indonesia maupun pengetahuan mengenai kebudayaan musik tersebut bahkan sudah disusun secara sistematis dalam bentuk buku, artikel, monograf atau pamflet. Tetapi,persoalannya sekarang, bila dilihat dari kurun waktu yang begitu panjang, sejak diawalinya penulisan tentang musik suku-suku Sumatera Utara pada awal 1900-an sampai sekarang, referensi yang sangat terbatas sekali. Apalagi kalau kita berbicara tentang referensi musik Batak Toba, Khususnya kebudayaan musik Gondang Sabangunan, jelas bisa dihitung dengan jari. Ini merupakan suatu indikasi, kalau bukan “sebuah nasib”, bahwa kebudayaan musik Gondang Sabangunan minus perhatian para “pandai musik”nya termasuk sarjana-sarjana ilmu sosial yang kita miliki.

Tidak seperti ketertinggalan masalah musik, masalah-masalah yang berhubungan dengan keagamaan, adat, struktur sosial, organisasi sosial, ekonomi, bahasa dan sastra, politik, migrasi, perubahan dan kehidupan sosial orang Batak di Sumatra Utara banyak dibicarakan, dituliskan dan diterbitkan. Masalah-masalah yang berhubungan dengan topik-topik tersebut tidak saja menarik perhatian para antropolog, sosiolog dan etnografer non-Indonesia, tetapi juga beberapa penulis pribumi, khususnya penulis-penulis lokal. Sederetan sarjana Eropa yang akrab sekali dengan pembahasan kebudayaan orang Batak (di luar kebudayaan musik) dan telah menerbitkan karya tulisannya jauh sebelum tahun 1940 antara lain, M.J.Joustra, J.Tideman, J.Warneckm JH.Neumann, G.L.Tichelman, J.Rauws, Vergouven, Edwin M.Loeb, W.K.H.Ypes, dll. Sementara itu para penulis pribumi, tercatat seperti Haeman Baduarahim Siahaan, Mangaraja Salomo Pasaribu, dan R.Pontas Pasaribu. Untungnya, kegiatan penelitian dan penulisan di dekitar permasalahan di alas terus berlanjut hingga pada dekade in, Mau bukti? Lihat saja di toko-toko buku atau di perpustakaan terdekat hasil-hasil penerbitan penelitian para ahli ilmu sosial dalam dan luar negeri. Tidak demikian halnya dengan penulisan mengenai kebudayaan musik orang Batak. Sumber yang saya peroleh mencatat beberapa nama sarjan berkebangsaan Eropa yang pernah menulis tentang musik suku Batak termasuk Nias, jauh sebelum berakhirnya kekuasaan Nippon di Indonesia. Di antara nama sarjan Eropa itu terdapat satu penulis "halak hita" (kalau saya tidak kecolongan), yaitu Mangaraja Salomo Pasaribu yang membukukan pengetahuannya tentang musik Batak Toba diseputar periode 1900-1940.

Dalam bukunya Parsorion (riwayat Hidup) ni Missionar Gustaf Pilgram Dohot Harararat Ni HaKristenon di Toba, Dr. Andar Lumban Tobing (1981) mencatat bahwa pada tahun 1885, Gustav Pilgram sudah menulis tentang musik Gondang Sabangunan. Tulisan ini berjudul "Referat Uber heidnische Musik und Tanz" (Lihat juga J.P.Sarumpaet, 1988). Pilgram mengulas tentang musik Gondang Sabangunan dari perspektif seorang Kristen. Toenggoel P.Siagian (1966) pada artikelnya "Bibliography on the Batak People" di dalam jurnal Indonesia terbitan Cornell University, mencatat beberapa penulis lain. Pertama, J.H.Meerwaldt (1904, 1905,1906,dan 1907) yang secara kontinu menulis tentang adat, agama, tekstual lagu-lagu, dan deskripsi instrumen musik Batak (Batak Toba), termasuk tartar Sigale-gale. Naskah ini berjudul "Gebruiken in het maatschappelijk leven der Bataks”, terdapat pada jurnal/serial berjudul Mededelingen van wage het Neder/andsch Zendeling-genootschap yang diterbitkan di Rotterdam. Yang kedua adalah J.G. Huyzer dengan artikelnya berjudul "Indonesische muziekinstrumenten" di dalam Tijdschrift voor Nederlandsch India, penerbitan 1928-1929 di Batavia. Huyzer membicarakan dan menelaah tentang perbedaan bentuk fisik hasapi, instrumen yang dipetik dan mempunyai dua senar. J.P.Sarumpaet (1988) dalam bukunya Bibliografi Batak, terbitan Sahata Publication-Melbourne, juga menyebutkan dua nama penulis yang menyumbang tulisannya antara tahun 1920-an dan 1930-an. Penulis pertama adalah J.Koning yang pada tahun 1920 menulis sebuah artikel pendek berjudul Si Datas, de Bataksche Beethoven. Artikel ini membicarakan kepiawaian permainan instrumen Kulcapi Pak Datas yang tinggal di Brastagi pada saat itu. Berikutnya, S.P.Abas yang pada tahun 1931 muncul dengan artikelnya berjudul "De Muziel der Bataks", terdapat pada Caeilia Muziekollege, berbicara secara umum tentang musik orang Batak. Di sisi lain, Kartomi (1987) dalam "Introduction" nya pada buku Culture and Societies of North Sumatra yang di edit oleh Reiner Carle, mencatat dua penulis yang menerbitkan tulisannya pada tahun 1909 dan 1942. Pertama seorang R. Von Heinze tampil dengan "Uber Batak-Musik" nya. Artikel Heinze mendeskripsikan ensambel musik suku Batak Toba serta penggunaannya di masyarakat. Tulisan ini juga merupakan bagian dari buku Nord-Sumatra, Vol. 1: Die Bataklander, ditulisan oleh Wilhem Volz, diterbitkan oleh D. Reimer, Berlin pada tahun 1909. Yang kedua, Jaap Kunst (1942) mengkontribusikan. "Music in Nias" nya, terbitan Leiden, menguraikan aspek sosial serta instrument musik pads suku Nias. Tunggul P.Siagian (1966) mencatat seorang penulis "halak kita", Mangaraja Salomo Pasaribu, yang mencurahkan perhatiannya untuk menulis musik Batak Toba. Kontribusinya berjudul "Taringot tu Gondang Batak”: terbitan Manullang-Sibolga di tahun 1925.

Sebenarnya, kehadiran publikasi-publikasi tentang musik yang sudah saya sebut di atas walaupun tidak tertumpu hanya pada kebudayaan musik Batak Toba merupakan suatu era diawalinya perhatian sarjana ilmu sosial terhadap kebudayaan musik masyarakat di Sumatra Utara. Namun kelanjutannya terasa terputus. Kurun waktu 1940-an sampai pada penghujung 1960-an merupakan tahun-tahun minus perhatian. Hal ini menyebabkan sulitnya ditemukan publikasi atau tulisan tentang musik Batak Toba. Kekosongan itu kemudian diisi oleh kemunculan tulisan Mangaraja Asal Siahaan, berjudul Gondang dohot Tortor Batak terbitan Sjarif Saama, Pematang Siantar, pada tahun 1953.

Memasuki dekade 1970 keadaan ini baru berubah saat sejumlah tulisan tentang musik suku-suku di Sumatra Utara diterbitkan. Menyusul pula ramainya beredar kaset-kaset rekaman komersil di pasaran dengan lebel, salah satu misalnya "Gondang Batak Nahornop", Gondang Batak Parsaoran Nauli", "Gondang Batak Saroha", dan dari kebudayaan musik lainnya di Sumatra Utara. Buku, artikel ataupun laporan yang diterbitkan pada kurun waktu ini sudah meliputi musik suku Melayu, Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Mandailing dan Angkola Sipirok (saya belum menemukan data tentang adanya tulisan ilmiah mengenai kebudayaan musik suku Batak Karo pada kurun waktu ini).

Satu hal yang penting bahwa cakupan pembahasan tulisan-tulisan dekade 70-an itu sudah bervariasi. Ada tulisah yang mendeskripsikan instrumen musik, mengulas fungsi dan konteks sosial, menganalisa dan mencari pola struktur musik, menginterpretasikan sistem dan teori musik dan bahkan ada yang membicarakan masalah nilai estetika. Ada pula tulisan yang menyertakan rekaman-rekaman musik lapangannya. Sederetan nama yang memberikan kontribusinya pada masa tahun 70-an ini antara lain, Lothar Schreiner, Liberty Manik, Dada Meuraxa, Lynette M.Moore, Arlin D. Jansen, Margaret Kartomi, David Goldsworthy, Reiner Carte dan M. Hutasoit.

Kembali pada masalah utama yaitu penulisan tentang musik Gondang Sabangunan Batak Toba, Lothar Schreiner di tahun 1970 mengawali era ini dengan mempublikasikan tulisannya berjudul Gondang-Musik als Uberlieferungsgestalt alt-volkischer lebensordnung dalam Bijdragen van hetkon. Institut veer teal, land en Volkelkunde (126). Tulisan ini membahas secara ekstensif peranan sosial musik Gondang Sabangunan serta membicarakan repertoarnya. Schreiner juga membicarakan bagaimana tanggapan para missionaris yang bertugas pada masa era Kristenisasi di Tanah Batak, terhadap pertunjukan-pertunjukan musik Gondang Batak ditinjau. dari perspektif agama Kristen. Liberty Manik (1913; 1977) muncul dengan artikelnya "Eine Studienreise zur Erforschung der rituellen Gondang-Musik der Batak auf Nord-Sumatra" di dalam Mitteilungen der Deutschen Gesellschaft fur Musik des Orients, diterbitkan di Hamburg. Artikel tersebut mengulas tentang elemen-elemen ritmis musik Gondang Sabangunan serta hubungannya terhadap sistem kepercayaan den ritual Batak Toba. Di sisi lain artikelnya "Suku Batak” dengan "Gondang Bataknya" dalam majalah Peninjau membicarakan sekilas tentang kedudukan Gondang Sabangunan pada masyarakat Batak Toba. Berbeda dari yang lainnya, Dada Meuraxa (1973) hadir dengan tulisannya Sejarah Kebudayaan suku-suku di Sumatra Utara, terbitan Sastrawam Medan, menguraikan secara umum tentang instrument dan fungsinya dalam ensambel musik Gondang Batak. Sementara itu M. Hutasoit (1976) menyumbang satu tulisannya berjudul Gondang dohot Tortor. Batak, yang walaupun sederhana namun memberikan cukup banyak informasi mengenai musik gondang, judul-judul gondang dan gerakan-gerakan tortor.

Pada dekade 80-an beberapa tulisan ilmiah tentang musik Gondang Sabangunan melengkapi koleksi yang sudah ada. Pembahasan tulisan-tulisan tersebut menyoroti aspek-aspek sosial dan religinya, dan aspek teori musiknya. Di awali oleh Artur Simon yang pada tahun 1982 menulis sebuah artikel berjudul "Altreligiose und soziale Zeremonien der Batak" dalam Zeitschrift fur Etnologie. Dan pada tahun 1984, ia kembali menyumbangkan satu artikel yang berjudul "Functional Changes in Batak Traditional Music and Its Role in Modern Indonesian Society" di dalam Journal of the Society for Asian Music. Dia mengulas, dari hasil pengamatannya, tentang perubahan-perubahan fungsi musik dan pergeseran nilai-nilai adat di dalam kehidupan masyarakat Batak. Aksentuasinya tentang "terobosan" musik tiup (brass band) yang menekan posisi Gondang Sabangunan dalam mengisi upacara-upacara adat di kalangan masyarakat Batak Toba yang nota bene berdomisili di kota, adalah point penting tulisan itu. Di tahun yang sama dia mempublikasikan dua buah piringan hitam berisikan musik Gondang Sabangunan dan transkripsi musiknya, dengan lebel "Gondang Toba: Instrumental Music of the Toba Batak" yang diproduksi oleh Museum fur Vulkerkunde, Berlin, German. Selanjutnya, di dalam buku Culture and Societies of North Sumatra yang diedit oleh Rainer Carle (1987), Simon mengkontribusikan satu tulisan lagi berjudul "Social and Religious Function of Batak Ceremonial Music". Ulasannya berkisar pada fungsi sosial dan religi musil-musik Batak dalam konteks upacara yang menghadirkan musik.

Masih pada dekade yang sama, 1980an, beberapa tulisan (tesis) dihasilkan oleh Jurusan Etnomusiklogi USU dan Jurusan Seni Musik IKIP Medan yang tentu saja perlu diperhitungkan dan disebutkan dalam tulisan ini. Pertama, Ben Pasaribu (1986), seorang musisi dan sekaligus kolumnis, menyumbangkan tulisannya, berjudul "Tagading Batak Toba: Suatu Kajian Dalam Konteks Gondang Sabangunan". Tesis itu mencoba melihat lebih jauh aspek sosiologis instrumen taganing dan musisi yang memainkannya berdasarkan pandangan sosial dan religi. Di samping itu Ben mengkotak-katik beberapa sampel komposisi melodi gondang (taganing) untuk mendapatkan pola-pola melodi taganing serta kecenderungan pola garapannya. Emmy Simangunsong (1986) menuliskan hasil pengamatannya pada upacara religius masyarakat Parmalim, yaitu orang-orang Batak Toba yang melanjutkan warisan sistem kepercayaan leluhur orang Batak Toba. Tesisnya berjudul "Fungsi Gondang Sabangunan dalam Upacara Parmalim Sipaha Sada Di Desa Lumban Gambiri Kecamatan Silaen". Irwansyah Harahap, lulusan Jurusan Ethnomusikology USU lainnya, menganalisa secara mendetil pola penggarapan melodi taganing aleh tujuh pemain tagaing. Melaluo tulisannya, Irwansyah menginterpretasikan konsep-konsep teori lisan yang "tersembunyi" di dalam tehnik bermain (pola sticking) taganing, yang kemudian dinyatakannya dalam bentuk notasi. Tulisannya berjudul "Analisis Pola Penggarapan Taganing (Pola Sticking) Oleh Tujuh Partaganing". Dari IKIP Medan, Nurdin H. Nainggolan, alumni Jurusan Seni Musik IKIP Medan menulis tesis berjudul "Musik Tradisional Batak Toba: Pembinaan dan Pengembangannya" (1979). Tulisan ini cukup sarat dengan informasi tentang kebudayaan musik Batak Toba. Nainggolan mengetengahkan beberapa ulasan tentang konsep "soara" dan "saringar" di dalam teori musik vocal Batak Toba. Korelasi antara susunan instrumen Gondang Sabangunan dengan struktur masyarakat Batak Toba, yang walaupun masih berupa hipotesanya, adalah butir penting tulisannya. Sayangnya, legis-legis ini tidak dipublikasikan secara umum, tetapi "dilestarikan" di masing-masing perpustakaan.

Penulis, yang juga alumni Jurusan Etnomusikologi USU, menyumbang dua tulisan. Pertama, "Mangido Gondang Di Dalam Penyajian Musik Gondang Sabangunan Pada Masyarakat Batak Toba" dibacakan pada Temu Ilmiah Masyarakat Musikologi Indonesia I-1989 (MMI) dan dimuat dalam Jurnal MMI-tahun II (1992). Yang kedua berjudul "Eksistensi Aspek Metafora Di Dalam Teori Dan Tradisi Lisan Musik Batak Toba", dibacakan pada seminar anggota Pusat Dokumentasi Pengkajian Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nommensen di Medan pada tahun 1990. Tulisan yang pertama menganalisa perbedaan teks yang digunakan waktu "mangido gondang" (meminta pargonsi memainkan gondang) saat penyajian Gondang Sabangunan dalam suatu upacara oleh tiga penganut agama--Katolik, Protestan dan Parmalim. Tulisan kedua mencoba menginterpretasikan teori ligan musik gondang Batak Toba. Teori yang dimaksudkan di sini adalah teori praktis, yaitu terminologi atau istilah yang digunakan para "pargonsi" (pemusik) saat berbagi pengetahuan dengan pargonsi lainnya atau saat membicarakan dan mengajarkan musik. gondang kepada orang lain.

Sekarang, di era tahun 1990-an ini kekosongan muncul kembali. Penelitian-penelitian tentang kebudayaan musik sepertinya terhenti lagi. Akankah ini berlanjut lama dan akankah penelitian dan penulisan tentang musik, khususnya Gondang Sabangunan akan tetap ketinggalan selangkah di belakang, sementara itu, penelitian di bidang lain berlanjut terus? Lihat saja satu contoh tulisan halak kita, Sitar Situmorang, yang sekarang tinggal di Islamabad, Pakistan, namun demikian menyempatkan diri mengadakan penelitian tentang masyarakat Batak Toba. Dua tulisannya Guru Somalaing dan Modigliani "Utusan Raja Rom" (1993) dan Toba Na Sae (1993) telah dapat diperoleh, dibaca dan dimanfaatkan.

C. Diskusi

Apa yang dapat kita pelajari dari pemeriksaan tentang tulisan-tulisan mengenai musik Gondang Sabangunan di atas adalah hal keterbatasannya baik dari segi kwantitas maupun kwalitas. Dari sudut kwantitas, jelas referensi tentang musik Gondang Sabangunan sangat minim mengingat kurun waktu yang begitu panjang sejak diawalinya penulisan kebudayaan musik itu lewat buku atau monograf. Sementara dari segi kwalitas, sebagian hasil-hasil penelitian tersebut, khususnya yang diterbitkan sebelum 1970-an, sudah kadaluwarsa. Ini membutuhkan penelitian ulang, sehingga memungkinkan untuk meng "up to date"kannya. Tugas siapakah ini? Tentu saja menjadi PR untuk kita, khususnya para ahli musik Batak Toba dan para etnomusikolog yang kita miliki sekarang.

Aspek-aspek yang menjadi sorotan para penulis pada publikasi-publikasi yang sudah diterbitkan jelas masih terbatas. Kebanyakan penulis, menyoroti di seputar konteks dan fungsi sosial atau religius musik Batak Toba--Gondang Sabangunan--yang nota bene hanya pada satu masa tertentu, deskripsi instrumentasi, analisi musikal, dan sebagian kecil aspek-aspek yang berhubungan dengan konsep musiknya. Kekosongan, masih terasa dalam banyak hal yang tentu perlu mendapat perhatian. Misalnya saja masalah estetikanya, sistem dan teorinya, bentuk dan gaya penyajiannya, repertoarnya, sejarah dan perkembangannya, dan masih banyak lagi yang lain. Dalam konteks kesejarahan, misalnya, belum ada satu tulisan yang mengulas bagaimana ensamble musik Gondang Sabangunan ini "selamat" hingga hari ini setelah mengalami "larangan mempertunjukkannya" ketika missionari Kristen rnasih aktif di Tanah Batak. Atau dengan kala lain, sampai sekarang belum ada satu tulisan yang memaparkan tentang kontinuitas atau diskontinuitas perkembangan musik Gondang Sabangunan itu sejak masa pra-Kristen di Tanah Batak, masa missionari Kristen, masa penjajahan Belanda dan Jepang, awal kemerdekaan Indonesia, migrasi orang Batak Toba ke kota Medan, Orde Baru dan masa globalisasi informasi sekarang ini. Padahal, masih banyak tua-tua Batak Toba di Bonapasogit yang masih segar mengingat perjalanan sejarah Gondang Sabangunan tersebut. Semua ini memerlukan perhatian kita dan memerlukan penelitian tentunya, kalau kita ingin mengetahui dan memahaminya.

Pada dasarnya, jika kita lihat buku-buku yang sudah diterbitkan yang membicarakan tentang adat Batak Toba, di sana ada "ruang" dan "kesempatan" yang baik untuk membicarakan tentang Gondang Batak. Sayangnya tidak dimanfaatkan. Sepertinya membicarakan gondang sabangunan selalu dihindarkan. Mengapa? Entahlah! Tentu saja jawabannya ada pada para penulis buku tentang adat itu. Satu kenyataan, sampai sekarang lebih banyak penulis-penulis luar yang menulis tentang Gondang Batak daripada penulis-penulis lokal. Padahal, belum tentu pengetahuan penulis-penulis "sibontar mata" itu tentang Gondang Sabangunan melebihi pengetahuan para penatua adat Batak Toba yang duduk di lembaga-lembaga adat dan lebih akrab dengan kebudayaan musik tersebut. Jika kondisi seperti ini berlanjut terus, maka bukan mustahil generasi Batak Toba berikutnya akan belajar kepada mereka. Untuk menghindari ini, maka tidak boleh tidak harus muncul "Hutasoit", "Mangaraja Asal Siahaan" dan "Mangaraja Salomo Pasaribu" yang baru. Ini adalah satu sisi yang perlu mendapat prioritas kita jika kita mau berbuat sesuatu untuk kebudayaan musik kita.

"Melestarikan" –meminjam istilah yang kerap sekali digunakan pemerintah kita---kebudayaan musik Gondang Sabangunan sebagai kebudayaan daerah dan bagian kebudayaan nasional tidak hanya melalui pertunjukan-pertunjukan kesenian itu, misalnya, pada saat tamu-tamu kehormatan mengunjungi para petinggi kita atau dalam konteks hiburan lainnya. Tidak juga melulu melalui perlombaan-perlombaan pertunjukan kesenian itu. Dan tidak puis semata melalui publikasi hasil penelitian lewat terbitan buku, atau seminar atau cara lainnya. Apalagi kalau cara-cara tersebut dilakukan secara "terkotak-kotak" tanpa koordinasi. Saya berpendapat, jika tidak berlebihan, optimis, kalau saja media-media itu dikombinasikan secara berkesinambungan dan mempertimbangkan keseimbangannya, maka target maksimal “melestarikan" bisa tercpai. Untuk mendukung itu, satu hal lagi yang perlu mendapat perhatian adalah masalah pengarkaifan musik tersebut. Arkaif (tentunya maksud saya adalah arkaif yang aktif dan kreatif) juga merupakan sarana yang ampuh untuk melestarikan kebudayaan musik. Arkaif bisa digunakan sebagai tempat pengarsipan dokumentasi rekaman-rekaman pertunjukan musik Gondang Sabangunan dalam berbagai konteksnya dal dalam waktu yang berbeda-beda pula. Arkaif ini tentu sangat berguna bagi para peneliti maupun masyarakat awam yang ingin mempelajari tentang kebudayaan musik tersebut. Seberapa jauhkah peristiwa-peristiwa budaya musikal yang menyajikan musik Gondang Sabangunan di Sumatra Utara sudah didokumentasikan sebagai suatu fakta sejarah kebudayaan musik Batak Toba? Seandainya, seseorang yang tinggal di kota Medan ingin mendapatkan dokumentasi penyajian musik Gondang Batak pada pesta budaya "Horas" atau "Pesta Danau Toba" yang diadakan sepuluh tahun yang lalu di Bonapasogit, kemanakah seseorang itu harus mencarinya? Atau contoh lain, kemanakah seseorang yang berada di Medan harus mencari dokumentasi tentang musik Gondang Batak Toba yang pernah disajikan oleh mendiang Pak Sinurat, pemimpin grup Gondang Batak Nauli yang dulunya berdomisili di sudut perempatan Jl. Purwo dan Jl. Jati Medan?

Pada 2 Februari 1994 saya menerima surat dari Dr. Artur Simon, seorang Etnomusikolog berkebangsaan Jerman dan sebagai pengelola Museum fur Volkerkunde, Arnimalee, Berlin-Jerman. Beliau mengatakan bahwa mereka memiliki ratusan kaset-kaset hasil rekaman pertunjukan--Gondang Sabangunan sejak tahun 1976-1981 di samping koleksi dokumentasi sebelum era tersebut. Pada tanggal 17 Januari 1994 saya juga menerima surat dari Mr. Eric Naslund, direktur museum tari Dansmuseet, di Stockholm, Swedia dan beliau mengatakan bahwa Dansmuseet menyimpan ratusan koleksi rekaman audio serta film (tanpa suara) tentang pertunjukan tari dan musik Batak hasil rekaman lapangan Claire Holt pada dekade 1930-an. Anicetus B.Sinaga (1981) mencatat bahwa perpustakaan University of Leiden di Belanda dan di Perpustakaan Tropical Institute di Amsterdam memiliki rekaman pertunjukan musik Batak Toba yang direkam oleh Drs. H.J.A Promes di Samosir dan Pematang Siantar pada tahun 1965 dan 1966. Di arkaif Music Department Monash University, yang dibina dan dikelola oleh Prof. Dr. Margaret Kartomi; terdapat puluhan kaset rekaman Pak Sinurat (Group Gondang Batak Nauli) dan rekaman Sigale-gale dll oleh Kartomi.

Pertanyaannya sekarang, sudahkah ada satu arkaif musik Batak di Bonapasogit atau di Medan, pusatnya permukiman orang Batak Toba, yang menyimpan dokumen-dokumen peristiwa budaya seperti yang dilakukan oleh saudara-saudara pencinta kebudayaan Batak Toba di Jerman, Swedia, Belanda dan Australia? Sudahkah lembaga-lembaga adat Batak atau pusat-pusat pengkajian Batakology atau apapun itu namanya memikirkan arkaif itu? Tidakkah penatua-penatua adat Batak, Khususnya Batak Toba dan tentu saja Pemerintah Daerah merasa tergugah untuk memiliki sebuah arkaif musik? Adakah usaha yang sudah dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang untuk meminta "salinan" dokumentasi itu? Saya masih meragukan adanya usaha seperti itu. Namun demikian, terlepas dari permasalahan itu, kita patut berbangga hati kalau di jurusan Etnomusikologi USU ada sebuah arkaif kecil, yang walaupun baru merupakan "embrio" namun sedang berusaha semaksimal mungkin mengembangkannya di tengah-tengah berbagai kendalanya.

Tentu saja kita tidak perlu menunggu sampai "biaya atau ongkos" melestarikan kebudayaan musik Gondang Sabangunan itu terkumpul dulu baru kita mulai menelitinya, menulisnya, mendokumentasikan musiknya dan lain sebagainya. Sekarangpun boleh kita mulai kalau kita mau melakukannya. Misalnya, serahkan gala satu copy video rekaman pesta "Pamasu-masuon boru/anak","Pesta Tugu", "Pesta Mangongkal Holi" atau "Pesta Ulang Tahun Marga/Pomparan" yang menyajikan musik Gondang Sabangunan kepada Jurusan Etnomusikologi di USU, Ke Perpustakaan Umum di Medan, atau ke Pusat Dokumentasi Pengkajian Kebudayaan Batak yang memiliki arkaif, dan mudah-mudahan saja mereka akan memeliharanya.


D. Penutup

Akhirnya, kita belum saatnya berbangga hati dan merasa puas dengan apa yang sudah kita lakukan dalam mempublikasikan dan mendokumentasikan musik Gondang Sabangunan. Melaju ke depan mempublikasikan dan mendokumentasikan musik Gondang Sabangunan tidak akan merugikan kita. Tetapi justru menunjukkan kepedulian kita terhadap kontinuitas dan perkembangan musik Gondang Sabangunan. Sehubungan dengan itu, jika kita mempunyai animo mengangkat kebudayaan musik Gondang Sabangunan lebih ke permukaan lagi, maka jalur komunikasi ilmiah (publikasi, penelitian, seminar), jalur pertunjukan (pesta budaya atau pesta tahunan) dan jalur arkaif (pendokumentasian lewat audio-video) tidak boleh tidak harus digalakkan. Melalui ketiga jalur itu "sisi gelap" dari ilmu dan pengetahuan yang terdapat di dalam kesenian Gondang Sabangunan itu, tentu dapat disingkapkan sehingga memperjelas aspek-aspeknya. Kendati demikian, ini bukan satu-satunya solusi, sebab ANDA mempunyai solusi yang berbeda tentunya. Kenapa berdiam diri?

Daftar Kepustakaan

Kartomi, Margaret, 1987., "Introduction" dalam Culture and Societies of North Sumatra. (Ed). Rainer Carle., Berlin: Dietric Reimer Verlag.

Lumbantobing,Andar, 1981.,Parsorion (Riwayat Hidup) Ni Missionar Gustav Pilgram Oohot Harararat Ni HaKristenon Di Toba, P. Siantar.

Sinaga, AB. (1981)., The Toba Batak High God., Augustin, West-German: Anthropos Institute.

Siagian, Toenggoel P (1966)., Bibliografi Batak., Melbourne: Sahata Publication.

Simon, Artur, 1984.,"Functional Changes in Batak Traditional Music And Its Role In Modern Indonesian Society" dalam Journal of The Society For Asian Music, Vol XV-2

------------1987., "Social And Religius Functions of Batak Ceremonial Music" dalam Cultures and Societies of North Sumatra, (Ed). Rainer Carle., Berlin:Dietrich Reimer Verlag.

Sumber data lain:

- Perpustakaan Monash University-Melbourne: Daftar koleksi buku-buku tentang Batak.

- Perpusatakaan Cornell University-Ithaca, USA: koleksi buku-buku tentang Batak.

- Surat dari Artur Simon (2 Feb 1994), Pengelola Museum fur Vulkerkunde, Berlin- German.

- Surat dari Erik Naslund (17 Jan 1994), Direktur Museum Dansmuseet, Swedia.

- Surat dari Sitor Situmorang (31 Dec 1993): Sastrawan dan Penulis.


No comments: