Monday, March 3, 2008

Manortor di Depan Jenazah

Oleh: Mula Harahap

Ito yang baik,

Saya bukan seorang ahli teologia, ahli kebudayaan atau pejabat gerejawi. Tapi izinkanlah saya ikut menjawab pertanyaan yang kau ajukan. Topik yang berkaitan dengan pertanyaan tersebut, yaitu perjumpaan adat dengan Injil, juga adalah topik yang selalu menggelitik perasaan dan keingin-tahuan saya sejak dahulu.

Uraian saya ini biarlah saya mulai dengan sebuah kisah yang sering saya dengar. Saya tidak tahu apakah kisah ini adalah sebuah kisah nyata atau alegori; tapi saya selalu senang mengingatnya. Di dalamnya tersirat sebuah esensi pergumulan, yang rasanya juga adalah pergumulan “gereja-gereja suku” di Indonesia. Kisahnya seperti ini:

Ketika Sri Paus mengunjungi salah sebuah negara di Amerika Latin dan berkhotbah di sebuah lapangan terbuka, datanglah seorang kepala suku Indian menghampirinya. Sang kepala suku bertelanjang dada dan berjalan gagah sambil mengepit Alkitab. Setibanya di hadapan Sri Paus ia membungkuk dengan penuh takzim seraya berkata, “Tuan, lima ratus tahun yang lalu Tuan datang kemari. Tuan ambil kekayaan budaya kami dan Tuan berikan Injil ini sebagai gantinya. Kini kami datang untuk mengembalikan Injil ini kepada Tuan dan kami minta kembali kekayaan budaya kami…”

Ito,

Seyogyanya Injil tidak harus membuat sebuah masyarakat tercerabut dari akar tradisi dan kehilangan kekayaan budayanya.

Memang akhir-akhir ini saya melihat ada gejala di kalangan orang- orang tertentu–terutama kaum muda–yang karena alasan “iman terhadap Kristus Yesus”, secara serta-merta ingin keluar dari tradisi dan mencampakkan kekayaan budayanya.

Di kumpulan keluarga atau “arisan parsahutaon” saya sering mendengar kisah anak si anu yang menolak upacara pernikahan secara adat dengan alasan bahwa upacara seperti itu tidak sesuai dengan iman sebagaimana yang mereka fahami. (Saya pernah menghadiri upacara pernikahan yang seperti itu. Tapi sekuat apapun pasangan itu berargumentasi, tetap saja ada warna “adat” di dalam upacara tersebut, yaitu “adat orang amerika”. Ha-ha-ha…).

Saya juga pernah dibuat terkejut ketika berkunjung ke rumah seorang handai-taulan. Rumah yang tadinya penuh dengan patung dan lukisan, tiba-tiba menjadi kosong-melompong. Penasehat spiritual keluarga itu–maaf, saya tidak menyebutnya pendeta–rupanya menyarankan, bahwa agar seisi rumah terbebas dari malapetaka maka “berhala-berhala” yang ada di seantero rumah sebaiknya dibakar dan dihancurkan. (”Kalian sudah gila, apa?!” hanya itulah ucapan yang bisa terlontar di hati saya).

Begitulah, masih banyak lagi kisah-kisah sedih seperti di atas, yang bisa saya beberkan, yang terjadi hanya karena perbuatan orang-orang, yang di satu fihak tidak memahami hakekat budaya, tapi di lain fihak tidak pula sepenuhnya memahami Injil.

Ito,

Menurut pendapat saya budaya adalah sebuah jati diri sekaligus manifestasi dari sebuah masyarakat. Sebagai sebuah jatidiri maka budaya perlu dijaga agar ia tidak mengalami perubahan yang tiba-tiba atau menjadi terputus. Masyarakat yang budayanya mengalami perubahan yang tiba-tiba atau menjadi terputus akan mengalami kebingungan, keterasingan dan “sakit jiwa”.

Tapi, walaupun saya berpendapat bahwa budaya adalah jatidiri dari sebuah masyarakat, bukan berarti bahwa budaya–terutama dalam pengertiannya sebagai nilai, ritus, sistem kekerabatan, ekspresi seni, dsb–harus dijaga sebagaimana kita menjaga sebuah barang antik. Budaya tidak boleh hanya sekedar diawetkan dan dielus-elus.

Budaya boleh berubah. Dan seharusnyalah ia berubah, karena berbagai hal di luar dan di dalam masyarakat juga mengalami perubahan. Tapi yang menjadi masalah ialah bagaimana perubahan itu disikapi agar masyarakat tidak bingung, merasa terasing dan “sakit jiwa”. Dan strategi yang paling tepat untuk ini ialah, dari waktu ke sewaktu mengkaji ulang budaya tersebut serta memberikan pemahaman dan makna baru yang lebih relevan terhadapnya.

Lalu, dalam kasus budaya Batak, siapakah yang harus melakukan pekerjaan mengkaji-ulang dan memberikan makna baru tersebut? Kau, saya, kawan-kawan lain di milis ini, ahli teologi, ahli budaya, gereja, universitas, pemerintah dan siapa saja yang merasa berkepentingan. Masing-masing melakukan pengkajian dan pemberian makna baru dari sudut pandangnya. Dan diskusi dari hasil pengkajian serta pemaknaan yang berbeda-beda inilah yang kemudian akan menghasilkan sebuah kesepakatan yang bisa diterima oleh sebagian besar kita–para penyandang budaya tersebut. (Dari sejarah kita belajar bahwa gereja sebenarnya sangat piawai dalam memberi makna baru terhadap sebuah budaya, sehingga budaya itu tetap hidup dalam terang pemahaman kristiani. Tradisi Natal yang kita jalani adalah salah satu contoh. Dahulu di Eropa ia adalah sebuah tradisi dari orang-orang pagan).

Memang, sudah banyak pengkajian dan pemaknaan baru yang kita lakukan terhadap budaya Batak, sehingga budaya itu menjadi tetap relevan, enak dan pas dengan nilai-nilai religi, sosial, politik dan ekonomi yang kita anut sekarang. Tapi mengingat derasnya tuntutan perubahan, maka masih lebih banyak lagi “pekerjaan rumah” yang harus dilakukan.

Nah, sekarang izinkan saya masuk ke masalah yang menjadi inti dari pertanyaanmu, “Apakah manortor di depan jenazah bertentangan dengan pemahaman iman terhadap Kristus Yesus?”

Saya akan mencoba menjawabnya. Tapi, saya takut, jawaban saya tidak bisa “hitam-putih”. Dan–meminjam isitilah orang-orang NU–masalah yang kau pertanyakan ini memang adalah masalah yang “khilafiyah”. Ha- ha-ha…

Ito,

Dari penuturan para orangtua, saya tahu bahwa “manortor di depan jenazah” adalah sebuah tradisi yang telah dipraktekkan oleh orang-orang Batak jauh sebelum Kekristenan masuk. Atas orang-orang tertentu, ada upacara kematian, yang oleh anak-cucu mau pun handai-taulannya tidak lagi dianggap sebagai dukacita, melainkan sukacita.

Siapakah orang-orang yang upacara kematiannya itu berhak diberi status sebuah pesta sukacita; ketimbang dukacita? Biasanya ia adalah seorang yang mati dalam usia uzur. Anak-anaknya semua telah menikah dan dikaruniakan anak-anak pula. Semua dalam keadaan kesehatan, ekonomi dan sosial yang relatif baik pula. (Kematian yang seperti ini ada yang menyebutnya sebagai kematian yang “sarimatua”. Ada yang mengatakannya sebagai “saurmatua”. Ada pula yang mengatakan bahwa “sarimatua” atau “saurmatua” itu sama saja. Perbedaan ini barulah akhir-akhir ini saja diadakan orang. Ini juga menarik untuk
dibahas…).

Nah, sebagaimana layaknya sebuah pesta, digelarlah “tortor”. Dan yang “manortor” biasanya hanyalah cucu-cucu dari yang mati. (Bisa difahami, bahwa walau pun kematian ini sudah layak dianggap “pesta sukacita”, tapi bagi anak-anak yang mati, kematian ini tentu tetaplah dirasakan sebagai “peristiwa dukacita”. Karena itu tidak layak kalau anak-anak yang mati turun “manortor”).

Dahulu “tortor” dilakukan oleh para cucu dan buyut si mati di sekeliling peti yang telah ditutup. Tapi kini beberapa kali saya melihat “tortor” dilakukan di sekeliling peti yang masih terbuka. (Saya pribadi cenderung berpendapat sebaiknya “tortor” dilakukan di sekeliling peti yang telah ditutup. Alasannya bukan karena “iman”; tapi lebih karena kesehatan dan kepantasan. Ketika masih kanak-kanak, saya sendiri pernah ikut “manortor” di sekeliling peti yang terbuka, dan hal itu sungguh menjadi pengalaman yang tidak sedap. Jenazah yang sudah berusia beberapa hari itu mulai sembab dan berair. Bubuk kopi, kapur barus dan kapas bertebaran di sekujur jenazah….).

Barangkali yang harus menjadi “pekerjaan rumah” kita adalah bagaimana memaknai ritus yang seperti tersebut di atas. Menurut cerita yang saya dengar, “tortor” yang digelar oleh para cucu dan buyut itu hanyalah sebuah ekspresi sukacita. Tapi sebagai masyarakat yang telah mengenal Kristus Yesus, akan lebih indah lagi kalau tarian sukacita itu kita pahami sebagai ungkapan syukur kepada Allah–Bapa di Dalam Kristus–yang telah menganugerahkan umur yang panjang kepada “ompung” yang jazatnya terbujur itu, yang telah memberikan kesehatan serta mata pencaharian yang relatif baik dan yang telah menumbuhkan kasih
serta persaudaraan kepada semua anak-cucu. Dan selanjutnya adalah tugas para seniman untuk menciptakan kreasi-kreasi syair dan musik, yang mendukung makna baru dari “tortor” sebagaimana yang kita pahami dalam “Terang Kasih Kristus” itu. (Ada beberapa lagu gerejani karya para seniman Batak, yang sangat indah. Dan saya percaya mereka pasti mampu untuk menciptakan lebih banyak lagi lagu yang indah).

Upacara “kematian sebagai sebuah pesta sukacita” dan ritus “manortor di depan jenazah” juga akan menjadi “kurang pas” dengan pemahaman iman kristiani kalau ia masih didominasi oleh keinginan untuk “pamer”.

Demikian pula, “kematian sebagai sebuah pesta sukacita” dan ritus- ritus lain dari budaya Batak itu menjadi “kurang pas” dengan pemahaman iman kristiani, kalau ia sampai menjadi beban bagi keluarga yang harus menjalankannya. (Acapkali terjadi, suatu keluarga sudah “habis-habisan” membiayai perawatan ayah atau ibunya selama beberapa bulan di rumah sakit; dan masih pula harus “habis-habisan” membiayai sebuah upacara penguburan demi memenuhi tuntutan adat…).

Ito,,

Menurut hemat saya, di dalam sebuah masyarakat Kristen maka adat adalah sarana kita untuk mengkomunikasikan Kasih; dan budaya adalah manifestasi kesadaran kita akan Kuasa dan Kemuliaan Kristus. Itulah makna baru dari relasi budaya dengan iman, sebagaimana yang saya coba fahami.

Dengan makna yang baru itu marilah kita memberikan “traits” (sapuan- sapuan warna kreatif yang baru di atasnya). Kita tidak perlu dengan serta-merta mencabut diri dari akar tradisi dan mencampakkan budaya yang kita anggap “tidak sesuai” hanya karena kemalasan melakukan proses dialektika.

Saya merindukan sebuah masyarakat Batak yang sistem kepercayaan, nilai, ritus, ekspresi seni dan hal-hal lainnya saling jalin-menjalin dengan pas dan memampukan masyarakat tersebut untuk siap melakukan dialog peradaban yang berikut di masa depan. (Saya selalu kagum melihat masyarakat dan budaya orang Jepang atau orang Bali).

Ito,

Singkatnya, “manortor di depan jenazah” adalah suatu hal yang boleh-boleh saja dilakukan; sepanjang hal itu tidak membebani pelakunya secara berlebihan secara ekonomi, sepanjang hal itu dilakukan bukan atas dasar keinginan untuk “pamer”, sepanjang hal itu dilakukan dalam ungkapan syukur akan kasih Allah Bapa di Dalam Kristus terhadap orang yang mati uzur serta keluarga yang ditinggalkannya dan sepanjang hal itu dilakukan dengan mengindahkan etika dan norma yang berlaku umum di masyarakat sekitar.

Manortor di depan peti terbuka dengan jenazah yang sudah sembab, atau manortor dengan iringan “organ tunggal” dan “irama poco-poco” adalah beberapa contoh dari pelaksanaan ritus yang–menurut pendapat saya–kurang khidmat dan terkesan dipaksakan….[]

No comments: