Tuesday, March 4, 2008

Bisakah Kesenian Tradisional Hidup Terus? Haruskah? -- [Can The Traditional Arts Survive, And Should They?]

Philip Yampolsky


1. Definisi


Apa yang kita maksudkan dengan istilah “tradisional” dalam konteks Indonesia? Biarkan saya tawarkan suatu definisi yang singkat dan gampang, supaya paling tidak pengertian saya mengenai istilah ini bisa jelas. Kesenian yang saya khususkan dalam definisi ini—dan dalam keseluruhan makalah ini—adalah seni musik, karena musiklah kesenian yang paling saya ketahui. Tetapi saya percaya bahwa apa yang akan saya katakan mengenai musik pada dasarnya juga berlaku untuk kesenian-kesenian tradisional lainnya.

Kita bisa membayangkan suatu garis, suatu kontinuum. Pada ujung yang satu, ujung yang “seratus persen tradisional,” terdapat jenis-jenis musik yang dalam idiom musikalnya tidak memperlihatkan jejak pengaruh yang jelas dari musik asing (yaitu dari luar Indonesia). Untuk keperluan artikel ini, kita bisa menganggap semua musik Indonesia yang tempatnya pada ujung yang satu itu, atau dekat ujung itu, sebagai “musik tradisional.” Pada ujung yang satu lagi terdapat jenis-jenis yang seluruhnya menggunakan idiom-idiom asing: yang menggunakan idiom murni Barat dengan harmoni, misalnya pop Indonesia, lagu perjuangan dan kebangsaan, dan lagu gereja; atau yang mencampurkan idiom Timur Tengah, India, dan Barat, misalnya dangdut, orkes gambus, dan qasidah moderen. Di antara kedua kutub itu terdapat musik-musik “hibrida” atau (katakanlah) peranakan, yang mencampurkan unsur musik yang jelas asing dengan unsur yang terasa “asli” Indonesia—kroncong, tanjidor, lagu opera Batak.

Kalau kita menginginkan suatu gambaran yang lebih rumit tetapi barangkali lebih tepat dan berguna, kita harus taruh dua garis atau kontinua daripada satu. Yang satu persis seperti garis yang baru saya ceritakan. Pada yang satu lagi, kedua kutub sama seperti tadi, tetapi yang diukur dalam jenis-jenis musik bukan idiom musikalnya tetapi norma-norma estetika yang kelihatan dalam pertunjukan. Jenis-jenis ditempatkan pada garis ini berdasarkan seberapa jauh mereka taat pada norma-norma pertunjukan yang umum di Barat: lagu-lagu yang pendek, pemain yang muda dan cantik atau ganteng, pakaian yang bagus, permainan yang hebat (misalnya dalam hal kecepatan atau ketrampilan), bersih dan kompaknya permainan pada saat permulaan dan penutupan lagu, vokal diutamakan daripada instrumental, dlsb. Tetapi garis kedua ini, garis estetika, tidak akan saya bawa masuk ke dalam pembicaraan di sini.

2. Situasi hari ini


Selama sepuluh tahun yang lalu saya beruntung sekali sempat bekerja sama dengan banyak kolega Indonesia untuk menyelenggarakan sebuah proyek rekaman. Hasilnya adalah Seri Musik Indonesia, 20 CD yang disponsori oleh MSPI di Indonesia dan Smithsonian di Amerika. Proyek itu membawa para peneliti ke berbagai daerah di Indonesia, dan oleh karena itu saya bisa memberikan semacam laporan aktuil mengenai musik tradisi di Indonesia selama dekade 90-an.

Di Jakarta, dan di luar negeri, kita biasanya mendapat gambaran yang terlalu polos mengenai keadaan musik tradisi di Indonesia. Sedang meninggal tak tertolong, kata orang, atau malah sudah mati, tinggal hanya beberapa jenis di daerah-daerah kekecualian, misalnya Jawa Tengah atau Bali—dan sebentar lagi punah di situ juga. Yang kami temukan dalam penelitian MSPI adalah situasi lain—lebih sulit diterangkan, tetapi, pada dasarnya, lebih optimis.

Di daerah dekat Jakarta pun—misalnya, di Tangerang atau Bekasi—masih sering terdapat pertunjukan kesenian-kesenian tradisional dalam konteks traditional pula. (Yaitu, bukan dipentaskan di atas panggung untuk para turis atau para pejabat, dan juga bukan dipentaskan di TV untuk para penonton yang duduk di rumah saja.) Tidak bisa dibantah bahwa jumlah pertunjukan tradisional berkurang dibanding dua puluh tahun yang lalu, dan jauh berkurang dibanding, misalnya, tujuh puluh tahun yang lalu. Dan harus diakui pula bahwa jumlah jenis kesenian tradisional juga berkurang dibanding masa lalu. Di banyak daerah, kesenian-kesenian tradisional telah digeser oleh TV dan filem, oleh band, kibord, dan karaoke. Tetapi di kebanyakan tempat yang kami kunjungi, ada pemain kesenian tradisional yang masih aktif. Di pelosok-pelosok, tempat TV dan band jarang dan bahasa daerah masih kuat, jenis-jenis kesenian tradisi masih sering merupakan hiburan yang dominan.

Memang, di kebanyakan daerah (walaupun, sekali lagi, bukan di daerah yang paling pelosok) para seniman tradisional dan penggemarnya sering sudah setengah umur atau lanjut usia. Orang muda, pada umumnya, kurang tertarik. Tetapi tergantung tempatnya. Di Nias kami pernah merekam suatu rombongan penyanyi hoho; kebanyakan anggotanya setengah umur, tetapi penyanyi utama dan pemimpin hohonya adalah seorang remaja berumur tujuh belas tahun. Sekolah-sekolah tinggi seni dan konservatori di Java, Bali, dan Sumatera Barat penuh dengan mahasiswa yang mempelajari kesenian tradisional. Dan di desa-desa di Indonesia bagian timur—di Flores, misalnya—para remaja dengan semangat mengikuti nyanyian dan tarian tradisional. Atau contoh lain: banyak orang akan mengatakan bahwa kesenian membalas pantun atau sindir-menyindir lewat nyanyian sudah hilang; tetapi kami sering menemukan anak remaja yang sanggup bergurau dan menyindir lewat syair yang dinyanyikan.

Kalau musik tradisional memang hampir punah, para peneliti kami tidak mungkin mengisi 20 album dan kira-kira 500 jam rekaman di lapangan. Tetapi, meskipun demikian, sulit mencari tempat di Indonesia di mana musik tradisi bisa dibilang berjaya. Jarang ada seniman yang bisa hidup hanya dari musiknya. Dan, sebagaimana tadi saya katakan, para pemain dan juga para penggemar musik tradisi semakin tua, sedangkan orang muda pada umumnya lebih tertarik kepada musik urban dan “modern.”

Menurut Biro Pusat Statistik, 44% persen dari penduduk Indonesia di bawah umur 20, dan 61% di bawah umur 30. Dari itu kita bisa mengira bahwa jumlah para pecinta musik tradisi akan makin lama makin menurun, dan kalau orang muda tidak tertarik, tidak lama lagi pecinta musik itu akan hilang. Dan tanpa penonton, dan tanpa seniman, tentu saja musiknya juga akan hilang.


3. Bisakah?


Tadi saya mengatakan bahwa kesimpulan dari penelitian MSPI itu pada dasarnya optimis. Yang memberi harapan di sini adalah bahwa—melawan banyak laporan dan ramalan—kesenian tradisional belumlah mati di Indonesia. Tetapi jelas perlu dibantu.

Bisakah kesenian tradisional dibantu? Haruskah dibantu? Atau lebih baik diserahkan saja ke pasar, dan dibiarkan mati kalau tidak ada konsumen? Saya akan berusaha menjawab pertanyaan pertama secara singkat, tetapi fokus saya hari ini adalah argumentasi kenapa kita seharusnya peduli dengan kesenian tradisional.

Ayo, bisakah kesenian tradisional dikuatkan? Perhatikanlah: istilahnya “dikuatkan,” bukan “dilestarikan.” Menurut saya, kita sebenarnya tidak mungkin melestarikan musik atau kebudayaan untuk orang lain. Contoh-contoh dari musik atau kebudayaan itu bisa disimpan di museum atau dalam bentuk rekaman, memang. Tetapi keseniannya sendiri, seutuhnya, hanya bisa dilestarikan oleh senimannya dan penggemarnya. Kalau mereka tidak peduli, keseniannya mati. Kalau masyarakatnya sudah bosan dengan menyanyi kroncong atau menarikan minuet, mereka berhenti, dan sudah. Orang dari luar (atau orang dalam yang prihatin) hanya bisa mencari masalah penyebab mengapa masyarakat itu tidak mau lagi dengan kesenian tersebut; kemudian bisa mencari jalan untuk memecahkan masalah itu.

Kesimpulan saya dari penelitian untuk proyek rekaman MSPI adalah bahwa pada masa Orde Baru—dan masih sampai sekarang—ada beberapa pihak yang sangat kuat di Indonesia yang berusaha mengajari masyarakat pedesaan supaya mereka mau meninggalkan musik tradisinya. Program kebudayaan dari pemerintah sering mengandung pesan bahwa kesenian pedesaan kurang baik sebagaimana seadanya; baru kalau dibina atau dikembangkan, kesenian itu akan memuaskan para penonton dari kalangan pemerintahan atau dari luar daerah. Penguasa dan pembesar agama menuntut supaya aspek-aspek tertentu dalam kesenian tradisional—atau malah kesenian itu seluruhnya—dibersihkan atau dibuang. Dan terdengar di mana-mana pesan sehari-hari dari surat kabar, majalah, iklan, radio dan televisi yang memberi kesan pada penduduk desa bahwa cara hidup mereka terbelakang, primitif, bodoh, dan pantas ditertawakan. Apakah mengherankan kalau orang muda tidak terangsang untuk menanam modal energi dan emosi mereka dalam musik dari desa yang terbelakang dan bodoh itu?

Dalam hemat saya, tekanan-tekanan dari luar inilah yang merupakan suatu penyebab utama kenapa masyarakat mau meninggalkan kesenian tradisionalnya. Dan tekanan-tekanan ini bisa kita lawan. Barangkali cara melawan yang paling penting adalah lewat pendidikan. Perlu disiapkan kuliah mengenai apresiasi seni untuk sekolah umum, dilengkapi dengan bahan-bahan yang menghargai musik tradisional. Selain itu, pemerintah, media, dan industri pariwisata perlu diarahkan supaya kesenian dan masyarakat tradisional diperlakukan dengan hormat dan kepekaan. Perhatian dari luar daerah, ataupun dari luar Indonesia, bisa dirangsang, supaya dibuktikan kepada pewaris tradisi bahwa ada penghargaan tinggi yang diberikan orang lain pada tradisi itu. Gunanya semua usaha ini adalah untuk menguatkan kembali kebanggaan masyarakat, terutama masyarakat muda, terhadap kesenian daerahnya atau sukunya.

Tetapi kita harus realistis. Kesenian tradisional tidak mungkin kembali ke kejayaannya dulu, sebagai satu-satunya kesenian yang dikenal oleh masyarakatnya. TV, radio, kaset, dan filem sudah merambat ke semua kota di Indonesia, dan dalam waktu yang dekat akan sampai ke setiap desa dan dusun. Dan siapa yang berhak menghalanginya? Siapa yang berhak menutup kesadaran orang di pedalaman mengenai dunia luar? Siapa yang berhak melarang masyarakat menikmati kesenian dari dunia luar? Yang wajar diharapkan, saya rasa, adalah supaya kesenian tradisional dipertahankan tanpa putus oleh kalangan-kalangan inti, terdiri dari seniman dan pecinta seni. Kalangan-kalangan inilah yang mempertahankan sampai sekarang musik Eropa dari abad-abad menengah dan Renaissance, musik pibroch untuk bagpipe di Skotlandia, nyanyian sean-nós di Irlandia, ataupun tembang macapat di Jawa.


4. Haruskah? #1


Jadi, jawaban saya terhadap pertanyaan pertama adalah Ya, kesenian tradisional bisa dibantu. Tetapi haruskah? Kenapa kita harus peduli nasibnya kesenian yang berasal dari zaman dulu, yang berkembang dalam masyarakat feodal atau agraris atau nomadis, masyarakat yang hidup terpencil dan terpisah satu sama lain? Sekarang ada zaman telekomunikasi, zaman kereta api dan pesawat terbang, zaman internet. Kalau kaum muda ingin membuang kesenian-kesenian kuno itu dan menikmati rock dan pop dan jazz dan dangdut, kenapa kita harus tetap mencanangkan tembang Sunda dan pakarena dan gondang?

Saya akan menawarkan dua argumentasi, kenapa kita seharusnya memperjuangkan musik tradisional. Dua-duanya adalah argumentasi instrumental, berarti menunjukkan bagaimana musik bisa membantu suatu tujuan selain musik. Kedua argumentasi berdasarkan makna simbolis dari musik, musik sebagai simbol atau lambang sesuatu. Dan masih tinggal argumentasi lagi yang bisa dikeluarkan. Bagi mereka yang sudah mendalami musik, ada argumentasi yang cukup kuat mengenai pentingnya musik sebagai musik, sebagai renungan mengenai struktur abstrak dalam suara—atau, menurut Susanne Langer, sebagai penggambaran struktur perasaan dan sensasi. Tetapi argumentasi semacam itu hanya bisa meyakinkan orang yang sudah cinta berat pada musik. Argumentasi saya di sini ditujukan kepada yang belum terikat.

Argumentasi pertama saya menyangkut soal identitas. Sering terjadi bahwa seseorang sedang jalan-jalan atau membaca atau ngobrol dan tiba-tiba terpukau oleh suara musik—musik dari kampung halamannya, atau dari masa lampau, musik yang sudah puluhan tahun tidak didengarnya. Kenapa musik bisa menimbulkan emosi yang begitu dalam dan mengharukan? Alasan yang paling tepat, saya rasa, adalah bahwa musik, untuk banyak orang, merupakan simbol atau lambang identitasnya, baik sebagai individu dan sebagai anggota suatu masyarakat. Dengan memainkan atau mendengarkan musik Minangkabau, misalnya, kita menunjukkan, dan juga merasakan, identitas kita sebagai seorang Minangkabau; kalau kita mendengar kembali musik yang dulu kita sering dengar, kita ingat kembali perasaan dan pengalaman dari waktu lampau itu; kalau kita menyanyikan lagu kebangsaan kita, kita memamerkan kewarga-negaraan kita. Musik juga berlaku sebagai simbol identitas-identitas lain lagi: simbol agama kita, golongan usia, tempat asal, tingkat selera, fokus intelektual, status sosial yang sebenarnya atau yang diinginkan.

Sebagai simbol identitas etnis (dan identitas-identitas yang lain), musik sangat kuat. Tetapi, selain kuatnya, ada keistimewaan lagi: musik adalah simbol identitas yang tidak kongkrit (intangible). Oleh karena itu, musik bisa tetap kuat walaupun simbol-simbol yang lebih kongkrit (otonomi suatu masyarakat; tanahnya; hutannya; agamanya; ekonominya; pola pemukiman dan pakaiannya) telah disita atau dilumpuhkan oleh penguasa dari luar atau dibuang oleh masyarakatnya sendiri. Bisa saja terjadi bahwa dalam semua perubahan, semua tekanan yang menuju ke keseragaman dan integrasi, hanya simbol-simbol yang intangible yang bisa diselamatkan.

Kalau musik merupakan simbol identitas etnis (atau identitas lain), maka hadirnya musik dari banyak suku (atau kelompok lain) dalam musik suatu masyarakat merupakan simbol keanekaragaman masyarakat itu. Tetapi, apakah kita harus menganggap keanekaragaman sebagai sesuatu yang baik? Ada orang yang berpendapat bahwa suku-suku di Indonesia harus melepaskan identitas tersendiri supaya bisa menyatu dalam satu negara. Sebaliknya, harus diakui bahwa experimen-experimen sosial untuk menghapus kesukuan pada umumnya menuntut banyak korban dan akhirnya gagal. Walaupun sudah berpuluhan tahun hidup rukun, kalau kekuasaan yang memaksa kerukunan itu jatuh, perang suku pecah lagi. Inilah yang kita lihat di Bosnia, di Kosovo, di Aceh, di Maluku.

Dari pengalaman dan logika kita bisa simpulkan bahwa manusia selalu akan berusaha mencari identitas pribadi dan identitas sub-kelompok, di samping macam-macam identitas yang lebih umum yang disediakan oleh suatu masyarakat. Jadi yang diperlukan, rupanya, adalah suatu bentuk masyarakat yang bisa menerima dan membanggakan adanya identitas-identitas yang majemuk—suatu bentuk masyarakat di mana seseorang bisa menganggap diri dan bisa diakui sebagai orang Jawa atau Dayak atau Tionghoa dan juga orang Indonesia, atau, sebagaimana diceritakan dalam suatu studi antropologis mengenai “pemilihan etnisitas,” sekaligus orang Punjabi, orang Meksiko, dan orang Amerika.[1] Suatu negara yang heterojen, Indonesia misalnya, dengan mendukung segala macam tradisi musikal yang terdapat di dalamnya, menggambarkan—dan bukan hanya menggambarkan: juga menciptakan—kebanggaannya akan pluralitas dan heterojenitasnya.

Berhubungan dengan ini, saya ingin menceritakan suatu anekdot. Saya pernah hadir pada suatu upacara perkawinan di Lampung, pada masyarakat Melinting. Ada tarian adat, diiringi sebuah ensembel gong, disebut kulintang. Pada salah satu tarian adat, terdapat sederetan ibu-ibu, semuanya berpakaian tekstil Lampung yang bagus. Diiringi kulintang dan sambil menari, deretan ibu-ibu itu maju ke depan, mendekati kedua mempelai, lalu mundur ke tempat semula. Semua wanita dalam deretan itu maju dan mundur bersamaan, kecuali satu yang tidak maju dan tidak mundur, menari di tempat saja. Ditinggal oleh temannya, lalu bergabung lagi kalau mereka kembali. Saya bertanya pada beberapa tamu, kenapa ibu yang satu itu tidak pindah dari tempatnya—apakah dia mempunyai pangkat yang lebih tinggi? Mereka menjawab: bukan begitu. Ibu yang satu itu berasal dari suku lain dan kawin dengan orang Melinting; inilah caranya suku dia menari pada upacara perkawinan.[2]

Aha. Beberapa suku bergabung untuk merayakan satu upacara; bermacam-macam tarian ditarikan pada kesempatan yang sama. Kesatuan tanpa keseragaman. Pluralisme budaya.


5. Haruskah? #2

Argumentasi kedua, kenapa kita seharusnya memperjuangkan musik tradisional dan pemusiknya, agak lebih rumit.

Pada tingkat yang paling dasar, musik merupakan struktur yang diterapkan pada suara dalam waktu. Pada tingkat dasar itu, musik tidak mempunyai makna, tidak mengatakan sesuatu mengenai sesuatu: topiknya hanya ketiga unsur itu, suara, waktu, dan struktur. Tetapi, menciptakan struktur dari materi adalah kegiatan dasar dalam kehidupan manusia. Itulah pekerjaan kita selama hidup: mencari pola atau struktur atau aturan dalam rasa dan pengalaman. Kalau kita mendengar musik kita mendengar suatu penggambaran yang abstrak dari suatu kegiatan dasar manusia.

Dari masa kanak-kanak, kebanyakan orang mendengarkan beberapa jenis musik yang lama-kelamaan mereka anggap biasa atau normal. Mereka hafal logika musik-musik itu tanpa sadar, persis seperti mereka hafal peraturan bahasa ibu mereka tanpa analisa. Dan bukan hanya pemain musik yang hafal begitu—siapapun yang sedikit tertarik pada musik. Bagi orang semacam itu—berarti bagi kebanyakan orang—musik yang mereka ketahui dari masa kecil adalah transparen: tanpa disadari, mereka tahu aturannya. Mereka tahu kalau sebuah lagu sudah selesai; mereka tahu kalau suaranya “tidak pas” (misalnya kalau seorang penyanyi atau pemain jadi fals); kalau mau menari, mereka tahu matnya tanpa tahu bagaimana tahu.

Tetapi kalau mereka mendengarkan musik lain, dari tempat atau suku lain, mereka menghadapi logika lain, sistem lain untuk mengatur suara dalam waktu. Dan menghadapi ini berarti menghadapi suatu misteri: misteri pengalaman orang lain dan masyarakat lain. Struktur lain dalam musik melambangkan (kita kembali ke simbolisme) struktur lain dalam kehidupan.

Biarkan saya perdengarkan (akhirnya!) beberapa contoh. Ambillah suatu lagu populer Indonesia yang terkenal, Bunga Anggrek.[3] Struktur lagu ini—logikanya—akan terasa transparen oleh semua pendengar, karena itulah logika yang umum dan biasa dalam idiom populer Barat yang merambat ke seluruh dunia dalam abad keduapuluh. Lagunya memakai tangga nada diatonis dan idiom tonalitas yang sederhana yang hampir semua orang tahu di bawah sadar. Tetapi saya ingin menggarisbawahi suatu segi lainnya: struktur dan panjangnya frase melodi. Yang penting diperhatikan adalah bahwa semua frase berbentuk sama: semuanya mulai pada titik yang sama dalam biramanya, semuanya berhenti sementara, mulai lagi, dan berakhir pada titik-titik yang sama. Panjangnya sama juga—empat birama, masing-masing dengan empat ketukan (dalam notasi ini). Jadi lagu Bunga Anggrek merupakan serangkaian frase yang identik dalam bentuk atau struktur; lagi pula, frase-frase itu simetris, terdiri dari dua anak frase yang juga identik dalam bentuk. Dan secara makro juga, lagunya terdiri dari unit-unit yang identik: frase 1 dan 2 (sebutkanlah pasang ini A) dibunyikan sekali dan diulangi; kemudian frase 3 dan 4 (sebutkanlah pasang B), identik dalam struktur dengan frase 1 dan 2, dibunyikan; kemudian kita kembali ke frase 1 dan 2 (pasang A). Strukturnya seluruhnya terdiri dari 32 birama dan bisa dirumuskan A-A-B-A.

Struktur ini sangat biasa dalam idiom musik populer Barat (walaupun harus diakui tidak semua lagu populer mempunyai struktur yang sesimetris dan serapi dengan lagu ini). Kita semua pernah dengar struktur ini seribu kali; kalau dengar ini kita tidak bingung, tidak heran; struktur ini sudah masuk di akal.

Baiklah, kita ambil contoh lain, dengan pendekatan lain terhadap struktur lagu. Dalam lagu koor ini dari Timor,[4] lagunya sama sekali tidak simetris seperti Bunga Anggrek. Ada satu koor wanita dan dua koor laki-laki. Notasi saya mulai dengan bagian wanita, karena gampang. Frase yang dinyanyikan wanita terdiri dari 13 ketukan; frase koor laki-laki yang pertama terdiri dari 14 ketukan (saya kira; kadang-kadang sulit menentukan kapan koor laki-laki yang pertama berhenti dan yang kedua mulai); frase koor laki-laki yang kedua terdiri dari 5 ketukan. Setiap ketukan dibagi tiga (triple subdivision of the beat). Kalau kita anggap setiap ketukan sebagai satu birama dengan metrum tiga cepat, kita dapat suatu struktur yang terdiri dari 32 birama, sama dengan Bunga Anggrek. Tetapi Bunga Anggrek membagi ke-32 biramanya secara reguler sekali, delapan frase masing-masing dengan 4 birama, sedangkan lagu dari Timor ini membagi ke-32 biramanya 13+14+5! Sulit dibayangkan suatu struktur yang lebih asimetris. Makanya—karena kita umumnya terbiasa dengan lagu-lagu seperti Bunga Anggrek, dengan frase-frase yang panjangnya selalu sama, selalu 4 birama (atau 8, atau 16, dst)—lagu dari Timor ini membuat kita bingung, tanpa pegangan. Tanpa menghitung setiap birama, kita tidak akan tahu kapan satu koor akan selesai dan yang berikutnya akan mulai.

Yang saya tegaskan di sini adalah bahwa lagu ini dari Timor mewujudkan suatu cara untuk mengatur suara—khususnya di sini struktur frase-frase melodi—yang sangat lain dari apa yang pada umumnya kita anggap biasa atau normal. Tetapi penyanyi koor ini menyanyi seolah terbiasa sekali—seolah frase-frase yang tidak rata, asimetris adalah sesuatu yang biasa atau normal untuk mereka. Dan pasti memang begitu—itulah yang normal bagi mereka, karena itulah cara yang mereka dengarkan sejak kecil.

Contoh terakhir barangkali akan terasa—oleh kita, bukan oleh pemainnya—lebih aneh lagi. Lagu ini berasal dari masyarakat yang tinggal di sekitar sungai Jelai Hulu di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.[5] Dimainkan dengan tujuh pasang batang bambu; kedua batang bambu dalam satu pasang dipukul satu sama lain. Lima pasang selalu bermain bersamaan, menghasilkan satu akord kalau nada terbesar (terrendah) adalah D dan satu akord lain kalau nada terbesar adalah E. Oleh karena kedua akord itu tidak berubah, tidak usah ditulis dalam notasinya secara lengkap; cukup saja menulis D atau E (pada posisi paling atas dalam notasi, dengan tongkat mengarah ke atas). Notasi ini menggunakan tanda metrum (7/8, 11/8, dlsb). Tentunya para pemain tidak menghitung tujuh mat, sebelas mat, dst; mereka hanya main. Tanda metrum ini adalah untuk kita, bukan untuk mereka: supaya kita bisa mengikuti jalan lagunya. Dan kalau kita memang mengikuti jalan itu, kita akan melihat sesuatu yang menarik: walaupun kesan kita dari musik ini adalah klik-klak-klik-klak saja, kita lihat dari notasi bahwa klik-klak itu, yang kedengarannya tak teratur, sebenarnya tersusun: dibunyikan satu kali dan kemudian diulangi secara persis.

Saya yakin bahwa kebanyakan orang (kecuali yang berasal dari Jelai Hulu) akan merasa musik ini sulit ditangkap. Kenapa? Karena strukturnya tidak masuk di akal kita—kita belum berpengalaman mendengarkan suara yang diatur begini. Dan itulah pesan saya: kalau kita mendengarkan musik ini, kita menghadapi suatu cara lain dalam pengaturan suara, lain dari apa yang kita anggap biasa; dan cara lain dalam pengaturan suara adalah lambang cara lain dalam pengaturan pengalaman, cara lain dalam kehidupan manusia.

Itulah kemampuan musik tradisi: mengingatkan kita bahwa ada cara hidup yang lain. Musik tradisi pada dasarnya menantang hegemoni untuk semua orang di luar tradisinya: musik tradisi menyatakan bahwa struktur dan aturan yang kita anggap biasa atau normal bukanlah satu-satunya struktur dan aturan yang ada di dunia. Dan saya anggap kabar ini sangat penting buat semua orang sekarang. Kita semakin berpengalaman yang sama, semakin menerima pesan yang sama dari media yang sama, membeli produk yang sama, diatur oleh undang-undang yang sama, tergantung pada teknologi yang sama. Kita perlu diingatkan terus-menerus bahwa manusia di tempat lain dan dalam situasi yang lain bisa berbeda dari kita, bisa menafsirkan dunia dan pengalaman dengan cara yang lain. Menghargai dan menikmati kesenian dari masyarakat lain tidak berarti bahwa kita harus membuang prinsip-prinsip kita, harus memeluk agama mereka atau mengikuti pola hidup mereka. Kita bisa menghargai hasil daya cipta manusia, pekerjaan berat memasang struktur dan makna pada pengalaman, tanpa menyetujui detail-detail isi atau kepercayaannya. Menafsirkan dunia, menciptakan struktur dalam pengalaman, adalah kewajiban manusia, dan usaha setiap masyarakat dalam menjalankan kewajiban itu bermanfaat untuk semua masyarakat lain.



[1] Karen Isaksen Leonard, Making ethnic choices: California’s Punjabi Mexican Americans (Philadelphia: Temple University Press, 1992).

[2] Sesudah makalah ini dibaca untuk seminar CCF, saya bertemu dengan seorang koreografer dan peneliti tari, R. Harry W Jayaningrat, yang tinggal di Lampung dan tahu banyak mengenai masyarakat Melinting. Menurut dia, informasi yang saya dapat dari tamu-tamu di perkawinan itu salah: kemungkinannya, ibu yang menari di tempat mewakili keluarga tuan rumah, bukan suku yang lain. Kalau Bp. Jayaningrat benar, anekdot saya ini lebih baik dianggap dongeng—tetapi masih memberikan gambaran yang ideal mengenai pertunjukan dalam suatu masyarakat majemuk.

[3] Kalau dinyanyikan dengan syair dalam bahasa Belanda, lagu ini disebut Als de orchideeën bloeien. Syair dalam bahasa Indonesia untuk lagu ini diciptakan oleh Ismail Marzuki, dan lagunya juga sering dianggap ciptaan Ismail Marzuki.

[4] Direkam dekat Atambua pada tahun 1990 oleh Margaret Kartomi dan dimuat dalam CD-nya Music of Timor (Celestial Harmonies 13182-2), track 16.

[5] Salah satu lagu dari repertoar senggayung. Direkam pada tahun 1995 dan dimuat dalam CD Kalimantan: Dayak Ritual and Festival Music (Music of Indonesia 17; Smithsonian Folkways SFW 40444), track 5.

No comments: