Monday, March 3, 2008

Lagu Rohani Populer Masa kini dan Pemahaman Tentang Kekristenan

Surat Seorang Ayah Kepada Puterinya

Oleh: Mula Harahap

Boruku yang manis,

Tadi pagi–secara tak sengaja–saya menonton acara musik di sebuah stasiun televisi. Di panggung yang gemerlapan itu ada sebuah kelompok band, serombongan penyanyi latar dan seorang vokalis pria yang bernyanyi-berteriak-teriak seraya berjalan
kesana-kemari.

Mula-mula saya menyangka pertunjukan musik itu adalah pertunjukan musik sebagaimana yang biasa kau tonton di MTV, dan yang selalu membuat kita bertengkar memperebutkan “remote control”, karena saya lebih memilih untuk menonton filem tentang ular anakonda di Amerika Selatan atau “killer whale” di Laut Artik.

Tapi ketika saya sedikit lebih menyimak, maka saya mendengar kata-kata seperti, “Kaulah Yang Mahakuasa”, “Kaulah Yang Mahakasih”, “Kumenyembah Engkau” dan “Terpujilah Engkau”. Ternyata yang mereka nyanyikan adalah “lagu-lagu rohani”. (Sengaja lagu-lagu rohani saya beri tanda petik, karena kalau bukan dari ungkapan-ungkapan seperti tersebut di atas, maka sikap
dan ekspresi para penyanyi itu tidak ada bedanya dengan yang lainnya, yang menyanyikan “I need your kiss”, “Hug me, baby” atau “I want to sleep with you”). Dan saya lama tercenung, ketika pada akhir acara, dari telop di layar teve saya diberitahu bahwa
yang baru saya tonton itu adalah mimbar agama Kristen!

Kemudian saya teringat akan peristiwa beberapa waktu yang lalu, ketika kau dan ibumu bertengkar mengenai persoalan lagu-lagu rohani. Kau protes, karena dalam sebuah acara persekutuan remaja yang kalian selenggarakan, ibumu hanya mengatupkan bibirnya dan tidak ikut melambai-lambaikan tangan sebagaimana semua yang hadir dalam persekutuan tersebut. (”Mama ini malu-maluin saja,” katamu memberondong ibumu. “Sorry, mama tidak mengerti lagu-lagu kalian,” kata ibumu. “Ya, tapi mama ‘kan bisa belajar,” katamu lagi. “Akh, saya dibesarkan dalam tradisi lagu-lagu ‘Dua Sahabat Lama’, ‘Mazmur & Nyanyian Rohani’ dan ‘Kidung
Jemaat’,” kata ibumu. “Syair dan melodi lagu-lagu kalian tak bisa meresap ke dalam hati mama.”).

Boruku,

Pada dasarnya saya adalah seorang yang progresif dan liberal. Kau tentu menyadari hal itu. Dan sikap itu misalnya tercermin dari cara saya membiarkan kalian anak-anak memprotes kami orangtua. Dan sikap itu juga tercermin dari toleransi yang saya berikan kepada kalian untuk mengekspresikan diri. (Kadang-kadang, kalau ompung kalian–ibu saya–ada di rumah, saya jadi malu. Ia acapkali mengkritik saya. “Na beha do dibahen ho mangajari angka dakdanakmu?” katanya). Tapi dalam urusan lagu-lagu ibadah, maaf, kalau saya juga berada dalam barisan orang-orang “konservatif”.

Sebulan yang lalu, dalam persidangan majelis jemaat di gereja, secara panjang-lebar kami juga membahas tentang tuntutan agar kebaktian–paling-tidak kebaktian orang-orang muda–diizinkan untuk memakai lagu-lagu rohani kontemporer yang diiringi oleh group band. Ada sinyalemen bahwa kebaktian-kebaktian kita yang “konvensional” itu, yang memakai “Kidung Jemaat” dan “NKB” serta yang diiringi oleh piano dan orgel itu, oleh orang-orang muda dirasakan kurang hangat dan kurang menarik.

Sebagian kawan-kawan “sintua” berpendapat sebaiknya kita tidak terlalu kaku dan mengizinkan saja tuntutan orang-orang muda tersebut. “Yang mereka nyanyikan tokh sesuatu tentang Yesus…,” kata sebagian kawan. “Daripada mereka ‘lari’ ke persekutuan lain, apa salahnya kita mengakomodasikan saja tuntutan tersebut,” kata sebagian kawan lagi.

Boruku,

Seperti yang saya katakan sebelumnya, pada dasarnya saya adalah orang yang progresif dan liberal. Kalau saja urusan lagu-lagu itu hanya sekedar urusan “kulit”, “bungkus” atau “gaya”; dengan serta-merta saya akan termasuk dalam barisan orang yang setuju.
(Sebagaimana saya setuju para wanita memakai celana panjang atau orang-orang muda memakai jeans ke gereja. Atau sebagaimana saya setuju “sintua” berambut gondrong seperti saya ini. Ha-ha-ha!).

Tapi–sayangnya–dalam urusan lagu-lagu ini saya melihat ada aspek “isi”, “substansi”, “pemahaman” atau “teologia”. Ini bukan persoalan yang gampang untuk ditolerir.

Boruku,

Kau tentu masih ingat, beberapa tahun yang lalu, ketika kau masih duduk di bangku sekolah dasar, kau pernah berkata kepada inangudamu–Tante Poppy, “Kalau Bapak sudah nyanyi lagu-lagu bahasa Batak seperti ‘Sai Patogu Rohangki’, ‘Sai Tiop Ma Tanganku’ atau ‘Ise Do Ale-alenta’; itu tandanya Bapak lagi susah, lagi nggak punya uang atau lagi marah sama orang…” Kau benar!

Menurut pemahaman saya, hidup mengikut Yesus bukanlah hidup yang bebas dari kesakitan dan penderitaan dunia ini. Tapi dengan mengikut Yesus saya mendapat jaminan penghiburan dan kekuatan untuk menghadapi kesakitan dan penderitaan tersebut. Menurut pemahaman saya, jalan salib adalah jalan yang penuh kesukaran, tapi yang saya tahu pasti akan berujung pada kemenangan.

Bagi saya, kekristenan bukanlah “ecstasy” dan bukan pula “masochism”. (Dan untuk memahami arti kedua kata itu, sebaiknya kau buka kamus Webster yang ada di lemari buku ibumu). Bagi saya kekristenan adalah suka-duka yang dirasakan dengan penuh kesadaran dalam perjuangan menuju ke kemenangan. (Iman, Kasih dan Pengharapan–begitulah bahasa “kerennya”).

Lagu-lagu seperti “Sai Patogu Rohangki”, “Tersembunyi Ujung Jalan” atau “Nun Di Bukit Yang Jauh” saya butuhkan untuk menghibur dan memberi saya kekuatan atas penderitaan hidup di dunia yang kadang-kadang tak bisa saya fahami ini. Seperti lagu mars pada tentara; begitulah fungsi lagu-lagu tersebut bagi saya. Ia membuat saya sadar dan kuat untuk masuk ke pertempuran. Ia tidak membuat saya “mabuk”, “fly”, “lupa diri” atau “syur”. (Maaf, saya tidak bisa membedakan, apakah kawanmu yang memegang melodi itu, yang meneriakkan “Terpujilah Engkau” berulang-ulang, seraya kepalanya naik-turun seperti ayam yang sedang minum itu, sedang bernyanyi, berzikir atau membaca mantera?).

Boruku,

Akhir-akhir ini banyak sekali “guru” yang menawarkan metode dan latihan bagi manusia untuk bisa merasakan “asketik”, kenikmatan “spiritual” atau kenikmatan “bersatu dengan Tuhan” lepas dari konteks dunia. Buku-buku, kursus-kursus atau persekutuan-persekutuan yang berkaitan dengan hal tersebut pun bermunculan seperti jamur di musim hujan. Banyak dari teman-teman saya yang tertarik dan mengajak saya untuk mencoba bergabung ke sana. Tapi saya tidak tertarik dan tidak merasa perlu untuk mencari kehangatan persekutuan dengan Tuhan lewat cara-cara seperti tersebut di atas.

Kehangatan persekutuan dengan Tuhan saya rasakan dalam perjalanan memikul salib di dunia ini. Kehangatan persekutuan dengan Tuhan saya rasakan dalam kesadaran bahwa saya adalah bagian dari dunia tapi tidak untuk menjadi serupa dengan dunia. Inilah pemahaman yang diwarisi secara turun-temurun dari ompungnya ompung saya, bapaknya ompung saya, ompung saya, bapak saya
(ompungmu), saya dan (saya berharap) kau.

Boruku,

Mungkin apa yang saya jelaskan di atas terlalu abstrak bagimu. Karena itu biarlah saya jelaskan dengan peristiwa yang baru-baru ini terjadi di tengah keluarga kita:

Empat bulan lalu kita mendapat kabar bahwa Ompung Maruli–amanguda saya–oleh dokter dinyatakan positif menderita kanker paru-paru. Kita bingung dan sedih. Kita bingung karena kita tidak tahu darimana uang harus diperoleh untuk biaya perawatan. Seperti kau tahu, ompungmu hanya seorang pegawai biasa yang hidup pas-pasan. Karena itu, kita berdoa. Sanak keluarga di
Medan berdoa. Sanak keluarga di Jakarta berdoa. Kita berdoa memohon kesembuhan seraya saling bahu-membahu mengumpulkan uang–yang jumlahnya juga tidak terlalu banyak, karena sebagian besar dari kita sedang mengalami kesulitan ekonomi–untuk biaya perawatan rumah sakit.

Tidak ada “mujizat” seperti yang difahami oleh kebanyakan orang. (Duit yang beberapa kali kita kumpulkan tetap saja pas-pasan dan ompungmu pun semakin parah saja). Tapi kita tidak merasa ditinggalkan oleh Tuhan. Bahkan kita merasa Tuhan hadir di tengah pergumulan kita.

Dua minggu lalu, setelah tubuhnya habis digerogoti oleh sel-sel kanker, ompungmu menyatakan diri siap untuk meninggalkan dunia ini. Dengan tenang dan penuh kesadaran ia minta agar diberi pelayanan perjamuan kudus yang terakhir. Dan malamnya ia pun pergi untuk menghadap Sang Bapa–Pencipta dan Pemilik Hidupnya. Tidak ada mujizat penyembuhan dan tidak ada solusi bagi tagihan rumahsakit yang menggunung. Tapi semua kita–terutama yang hadir di sekeliling ranjangnya malam itu–bisa merasakan genggaman tangan Yesus. Indah sekali!

Itulah spiritualitas yang kita pahami. Kehadiran dan penyertaan Tuhan kita rasakan dalam pergumulan hidup sesehari dan biasa-biasa saja, di dunia nyata ini.

Boruku,

(Kini kita kembali ke topik pembicaraan kita). Yang menjadi keberatan saya ialah, bahwa sebagian besar syair lagu-lagu yang disebut sebagai “lagu-lagu rohani” masakini itu, kurang pas dengan pemahaman saya tentang hidup bertuhan. (Satu-dua memang ada yang pas).

Saya merasa kurang “sreg” kalau sebuah lagu berulang-ulang hanya mengatakan, “Hebat sekali Kau, Tuhan! Hebat sekali Kau, Tuhan!” atau “Mahabesar Kau, Tuhan! Mahabesar Kau, Tuhan!”. Tuhan yang saya fahami adalah Tuhan yang tidak membutuhkan pujian seperti itu. Tuhan yang saya fahami bukanlah Tuhan yang “sipanggaron”.

Tuhan yang saya fahami justeru adalah Tuhan yang merasa terpuji, kalau dalam nyanyian yang saya panjatkan saya bisa merasakan operasionalisasi dari kehebatan dan kebesaranNya. Sama halnya, saya tidak akan merasa terpuji kalau kau hanya mengatakan, “Bapak hebat, deh! Bapak baik, deh!” Tapi saya akan merasa terpuji kalau kau mengatakan, “Bapak baik, karena
memampukan saya membayar uang sekolah tepat waktu dan mendapat cukup uang jajan sehingga bisa membeli
satu-dua buku bacaan setiap bulan..”. (Cobalah kau simak baik-baik syair beberapa lagu kegemaran saya di Buku Ende, Kidung Jemaat atau NKB. Kau pasti bisa lebih memahami apa yang saya maksudkan).

Saya juga merasa kurang “sreg” kalau orang bernyanyi sampai “lupa diri”.

Boruku,

Sama halnya dengan dirimu, saya juga pernah mengalami masa muda. Saya adalah generasi The Rolling Stone, Led Zeppelin, CCR, Bee Gees atau The Cats. Sampai sekarang saya masih hafal luar-kepala sebagian dari lagu-lagu itu. Pada masanya dahulu, saya juga berpotongan rambut, berpakaian dan bertingkah-laku seperti musisi-musisi idola saya itu. Tapi pada waktu itu pun saya sadar, bahwa ekspresi “pop” hanya pas untuk urusan-urusan di luar gereja.

Kalau kami “marminggu” di HKBP Sudirman–Medan, maka dengan senang hati budaya atau ekspresi pop itu kami tinggalkan di luar pintu gereja. Kami melangkah masuk dengan menenteng Buku Ende yang bersampul hitam, kami menyanyikan lagu-lagu yang ada di sana dengan gembira dan kami mendapatkan “sesuatu”. Dan “sesuatu” itulah yang kini–kalau saya sedang gelisah, sedih atau
takut–suka saya lantunkan di dalam hati.

(Dua tahun lalu, bersama seorang teman, saya terpaksa bermobil di malam hari, melintasi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Kecuali kami, tidak ada orang lain di tempat itu. Mobil mendaki dengan tersendat-sendat dan setiap saat bisa saja muncul
orang dari balik hutan yang lebat untuk menyergap dan menghabisi kita. Saya takut. Tak ada hal lain yang saya lakukan kecuali menyetel kaset Trio Lasidos yang menyanyikan lagu-lagu Buku Ende tersebut. Rasa takut saya memang tidak hilang mutlak, tapi saya menjadi lebih tenang, pasrah dan kembali meyakini bahwa ada Dia di “atas” sana yang berkuasa atas saya dan yang
memiliki hidup saya).

Boruku,

Saya tidak melarangmu untuk mengeksplorasi “lagu-lagu rohani” kontemporer itu. Tapi sebagai pengimbang, saya juga ingin agar kau mengeksplorasi lagu-lagu Buku Ende, Kidung Jemaat atau Mazmur dan Nyanyian Rohani.

Mungkin saja, pada saat-saat awal, lagu-lagu tersebut terasa kurang sreg di telingamu. Tapi cobalah terus. Saya rindu, bahwa suatu ketika kelak, kita sama-sama melantunkan lagu “Sai Tiop Ma Tanganku” (Ayat 1 sampai 5), dan merasakan “getaran” yang sama. Memang, lagu-lagu tersebut tidak membuat kita bergoyang atau menjadi “fly” untuk merasakan kehadiran Tuhan. Ia
justeru membuat kita merasakan kehadiran Tuhan dalam penuh kesadaran.

(Kau tentu belum pernah mengalami peristiwa, dimana–bersama-sama dengan beberapa teman–kau menyanyikan lagu “Sai Tiop Ma Tanganku” di sekeliling seorang kekasih yang “terminally ill” dan sedang bersiap menghadap Yesus-nya. Tapi saya sudah pernah
mengalami hal tersebut. Saya menangis, tapi tidak merasa sepenuhnya ditinggalkan. Saya kecewa, tapi tidak merasa sepenuhnya dikhianati. Saya takut, tapi tidak merasa sepenuhnya dilucuti. Dan semua itu saya rasakan karena kekayaan syair lagu).

Boruku,

Itulah beberapa pikiran dan gagasan saya di seputar lagu-lagu “rohani” populer masakini. Kalau kau mempunyai pemikiran lain dan tidak bisa menerima apa yang saya sampaikan, silakan utarakan. Melalui diskusi yang diterangi oleh Roh Kudus saya berharap, kita bisa membangun suatu pemahaman yang lebih benar tentang kekristenan kita dan bagaimana bentuk pengekspresiannya yang paling pas.

Horas,

Bapakmu

(Manusia Biasa–Yang Baru Ingat Akan Tuhan Kalau Hatinya Sedang Susah)

No comments: